Rolista,
WABAH pandemi Covid-19 telah memaksa pemerintah membuat sejumlah kebijakan. Mulai dari pembatasan sosial hingga penerapan protokol kesehatan. Akibatnya aktivitas masyarakat menjadi sedikit terganggu, dan akhirnya mengganggu perekonomian secara keseluruhan.
Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mengubah fungsi kebijakan pajak dari budgetair ke regulerend. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28/PMK.03/2020. Dengan PMK itu, barang dan jasa untuk penanganan pandemi Covid-19 menjadi bebas pajak.
Contoh, obat-obatan, vaksin, peralatan dan pendukung lainnya. Sementara itu, impor barang kena pajak, penyerahan barang kena pajak, pemanfaatan jasa kena pajak, juga mendapatkan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN).
Jika dilihat dari prasyarat insentif pajak tersebut, para wajib pajak atau pengusaha kena pajak wajib membuat faktur pajak yang di dalamnya memuat keterangan ‘PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR…/PMK.03/2020’.
Mereka juga harus membuat surat setoran pajak dengan cap yang sama. Demi memaksimalkan kebijakan tersebut, pemerintah akhirnya menambah waktu pemanfaatan fasilitas untuk PPN dan pajak penghasilan (PPh) menjadi hingga Desember 2020.
Namun, efektifkah insentif pajak ini? Meski harus diakui ikut menjaga ekonomi para pelaku usaha di Indonesia, tidak semua sektor usaha merasakan dampak positif perpanjangan pemanfaatan fasilitas PPN dan PPh itu.
Sejak PMK 28/2020 berlaku pada 6 April 2020, daya beli masyarakat sudah memprihatinkan. Lebih-lebih dengan adanya pemutusan hubungan kerja di sektor industri. Pendapatan masyarakat terus menurun. Lesunya daya beli masyarakat ini akhirnya membawa Indonesia ke jurang resesi.
Namun, pemerintah tidak tinggal diam. Program pemulihan ekonomi untuk mendorong daya beli terus digencarkan, termasuk melalui insentif pajak yang diperpanjang. Di sini sosialiasi menjadi bagian penting, sebab kebijakan tanpa sosialiasi mendalam hasilnya tentu kurang maksimal.
Dengan adanya sosialisasi kebijakan insentif tersebut, tidak hanya pengusaha saja yang merasakan kebijakan insentif itu, tetapi juga masyarakat yang sudah masuk ke jurang resesi. Indonesia setidaknya bisa belajar dari fakta resesi negara tetangga Singapura.
Singapura mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I-II/2020 cenderung menurun drastis. Resesi di Singapura dibarengi dengan meningkatnya angka pengangguran dan turunnya pendapatan. Sampai akhirnya Pemerintah Singapura merilis berbagai insentif pajak untuk pelaku usahanya.
Perlemahan Ekonomi
NAMUN, adanya insentif pajak yang terus berlanjut juga bisa menjadi pisau bermata dua. Mengingat insentif pajak itu tidak lain merupakan bantuan pemulihan ekonomi, daya beli yang tidak kunjung meningkat akan membuat pemerintah terus memperpanjang insentif tersebut tahun depan.
Untuk itu, kebijakan insentif pajak perlu ditimbang ulang jika akan diberlakukan dalam jangka panjang. Uang dari pajak jelas bisa dimanfaatkan untuk memulihkan ekonomi. Hingga kini, belum ada kejelasan sampai kapan pandemi ini akan berakhir.
Pemerintah sudah memprediksi terjadi perlemahan ekonomi pada kuartal III/2020, sejak Tiongkok dan beberapa negara di Eropa terkena imbasnya. Kondisi demikian menyebabkan defisit anggaran melebar lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Meski begitu, wujud insentif pajak salah satunya menjawab keresahan atas kondisi ekonomi. Peran pajak untuk membantu penanganan wabah Covid-19 harus dibarengi dengan kebijakan lain. Alhasil kalangan wajib pajak tetap dapat menjalankan usaha di tengah lesunya daya beli.
Perpanjangan waktu atas keringanan pajak perlu disinergikan agar kepatuhan wajib pajak tetap terjaga. Dengan demikian, keberlangsungan penerimaan pajak bisa tetap optimal, bersamaan dengan meningkatnya perekonomian.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.