Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Desakan bagi pemerintah untuk memperpanjang pemberlakuan pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5% bagi pelaku UMKM kembali kencang terdengar. Topik ini menjadi salah satu bahasan utama media nasional pada hari ini, Senin (9/12/2024).
Harian Kompas menjadikan isu soal PPh final UMKM menjadi salah satu headline-nya. Pelaku UMKM berharap pemerintah bisa memberikan kelonggaran dalam menerapkan skema tarif pajak. Dorongan ini mempertimbangkan kondisi perekonomian domestik yang masih dihantui pelemahan daya beli masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi UMKM Hermawati Setyorini mengarapkan keringanan pajak berupa tarif PPh final UMKM 0,5% bisa diperpanjang. Apalagi pada saat yang sama, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12%, meski keputusan sementara hanya berlaku atas barang-barang mewah.
"Kurang bijaksana kalau misalnya sekarang langsung dikenakan tarif umum, dengan kondisi PPN dinaikkan, harga barang yang masih tidak stabil," kata Hermawati.
Perlu dipahami, 2024 ini menjadi tahun terakhir pemanfaatan PPh final 0,5% bagi pelaku UMKM yang sudah menggunakan fasilitas tersebut sejak 2018. Fasilitas PPh final 0,5% memang hanya berlaku maksimal 7 tahun bagi wajib pajak orang pribadi, sesuai dengan PP 55/2022.
Bagi wajib pajak UMKM yang sudah tidak bisa lagi menggunakan PPh final 0,5%, masih ada 2 opsi penghitungan pajak terutang yang bisa dimanfaatkan. Pertama, memilih melakukan pembukuan. Kedua, tetap melakukan pencatatan dan menggunakan skema norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
“Bagi wajib pajak yang sudah menggunakan tarif PPh final sejak 2018, mulai 2025 dapat memilih untuk menggunakan pembukuan atau menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN),” sebut Ditjen Pajak (DJP) dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Selain bahasan mengenai PPh final UMKM, masih ada beberapa topik pemberitaan yang menjadi sorotan media nasional pada hari ini. Di antaranya, target penerimaan dari PPh Pasal 21 yang mengalami kenaikan, kebijakan PPN 12% yang memicu ketidakpastian, hingga antisipasi terhadap lonjakan inflasi.
Fasilitas PPh final sebesar 0,5% yang berlaku bagi pelaku UMKM dinilai menjadi salah satu stimulus pengembangan usaha mereka. Dengan fasilitas tersebut, UMKM tidak perlu melakukan pembukuan yang dinilai cukup kompleks. UMKM hanya perlu mencatat naik-turunnya omzet bulanan untuk memastikan kepatuhannya.
Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia Edy Misero menilai PPh final 0,5% memberikan semangat bagi pelaku UMKM untuk terus bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi. Dia juga mendorong pemerintah untuk kembali memperpanjang pemberlakuan PPh final UMKM 0,5%.
Pemerintah tampaknya makin mengandalkan penerimaan pajak dari orang pribadi ketimbang pajak korporasi. Hal ini terlihat dari target PPh Pasal 21 yang naik cukup signifikan daripada target setoran PPh badan.
Perpres 201/2024 tentang Rincian APBN 2025 mengatur bahwa penerimaan PPh Pasal 21 pada 2025 ditarget senilai RP313,51 triliun, naik 45,6% jika dibandingkan dengan target pada 2024. Sementara itu, target PPh badan pada tahun depan mencapai Rp369,95 triliun, turun 13,68% ketimbang target pada tahun ini.
Indonesia Economics Fiscal (IEF) menganalisis kenaikan target PPh Pasal 21 tidak terlepas dari kenaikan upah minimum provinsi yang ditetapkan naik 6,5% pada tahun depan. Selain itu, gaji pegawai pemerintah juga diprediksi akan naik 8%. (Kontan)
Keputusan pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025 dinilai akan memunculkan tidakpastian. Kendati, kenaikan itu hanya berlaku atas barang-barang mewah saja.
Apalagi pemerintah saat ini belum memberikan perincian yang resmi terkait dengan barang-barang yang bakal dikenai PPN 12%.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyampaikan kenaikan PPN 12% yang hanya berlaku pada barang mewah juga tidak akan ikut mendongkrak penerimaan pajak. Pasalnya, rata-rata kontribusi PPnBM hanya sekitar 1,3% dari total penerimaan pajak nasional periode 2013-2022. (Kontan)
Pemerintah perlu mewaspadapi inflasi pada awal 2025. Hal ini dipicu oleh pembatasan angkutan barang yang berlaku pada libur Natal dan Tahun Baru.
Pelaku usaha berharap rancangan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai pengaturan lalu lintas pada libur Nataru bisa mempertimbangkan risiko ekonomi, terutama potensi lonjakan inflasi.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) berharap pemerintah memberikan kelonggaran atas pengiriman beberapa barang prioritas, yakni bahan pokok strategis dan komoditas mudah rusak alias perishable goods. Hal ini untuk mencegah lonjakan harga di pasaran. (Bisnis Indonesia)
Wajib pajak bernama Surianingsih mengajukan permohonan pengujian materiil atas Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP sekaligus atas Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak. Perkara bernomor 168/PUU-XXII/2024 ini akan mulai disidangkan pada hari ini, Senin (9/12/2024).
Menurut pemohon, Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c UU KUP dan pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak tidak mampu memberikan kepastian hukum, jaminan perlindungan hukum, dan rasa keadilan. Dengan demikian, kedua ayat dimaksud bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum tersebut juga melanggar prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa 'Negara Indonesia adalah negara hukum'," tulis pemohon dalam permohonannya. (DDTCNews)