KEBIJAKAN PAJAK

Bisa Jadi Pemungut PPN, Ekonomi Digital Masih Jadi Risiko Penerimaan

Muhamad Wildan
Sabtu, 20 Agustus 2022 | 07.30 WIB
Bisa Jadi Pemungut PPN, Ekonomi Digital Masih Jadi Risiko Penerimaan

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ekonomi digital masih dipandang oleh pemerintah sebagai risiko dalam menggali potensi penerimaan pajak.

Digitalisasi ekonomi memang berdampak positif terhadap efisiensi perekonomian. Meski demikian, digitalisasi meningkatkan aktivitas ekonomi yang tidak terdaftar dan tidak terdeteksi oleh pemerintah.

"Walaupun saat ini pemerintah telah menerapkan kewajiban perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atas transaksi elektronik, perkembangan digitalisasi yang cepat terutama setelah pandemi Covid-19 perlu diantisipasi," tulis pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2023, dikutip Rabu (17/8/2022).

Tingginya aktivitas ekonomi yang tak terdaftar dan tak terdeteksi oleh pemerintah memiliki potensi menggerus basis pajak baik PPh maupun PPN.

Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk mengoptimalkan kebijakan penunjukan platform sebagai pemungut PPN PMSE. Perbaikan atas regulasi dan pengawasan atas sektor ekonomi digital juga akan terus diperbaiki.

Untuk diketahui, pemerintah sesungguhnya sudah memiliki kewenangan untuk menunjuk platform digital sebagai pemungut pajak. Penunjukan telah diakomodasi oleh Pasal 32A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.

Saat ini setidaknya sudah terdapat 3 peraturan menteri keuangan (PMK) yang menyasar sektor ekonomi digital yakni PMK 60/2022 yang mewajibkan platform memungut PPN PMSE, PMK 68/2022 mengenai pengenaan PPN dan PPh atas aset kripto, dan PMK 69/2022 yang mengatur tentang pengenaan PPh dan PPN pada sektor fintech khususnya P2P lending atau pinjol.

Pada PMK 60/2022, pelaku usaha PMSE asing yang ditunjuk oleh DJP wajib melakukan pemungutan PPN atas produk digital asing yang dijual di Indonesia. Saat ini sudah terdapat 119 PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut.

Pada PMK 68/2022, exchanger aset kripto ditunjuk untuk memungut PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dan PPN final sebesar 0,11% atas transaksi aset kripto. Bila exchanger tidak terdaftar di Bappebti, tarif PPh Pasal 22 final dan PPN final naik 2 kali lipat.

Pada PMK 69/2022, pemerintah mengatur secara khusus mengenai pemotongan PPh atas penghasilan berupa bunga yang diterima pemberi pinjaman.

Bila pemberi pinjaman adalah wajib pajak dalam negeri dan BUT, bunga akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%. Bila pemberi pinjaman adalah wajib pajak luar negeri selain BUT, wajib pajak dikenai potongan PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai dengan P3B. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.