Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
JAKARTA, DDTCNews – Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan besaran suku bunga acuannya sudah tepat.
Hal ini mengingat tekanan dari sektor eksternal masih cukup besar. Risiko global masih cukup tinggi dipicu oleh perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China serta masih berlarut-larutnya proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
“Saya rasa itu merupakan keputusan optimal. Meski tekanan inflasi di dalam negeri berada pada tren yang menurun dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada level yang relatif stabil, BI kemungkinan masih memandang resiko eksternal masih cukup tinggi,” katanya.
Seperti dikutip dari laman resmi Kemenko Perekonomian, Airlangga juga mengapresiasi langkah penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang dilakukan oleh otoritas moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar keuangan.
Seperti diketahui, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20-21 November 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,75%.
Pada saat yang sama, BI memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah sebesar 50 bps menjadi 5,5% dan 4,0%. GWM Rerata masing-masing tetap sebesar 3,0% dan berlaku efektif pada 2 Januari 2020.
Namun demikian, Airlangga memandang ruang bank sentral untuk kembali menurunkan tingkat suku bunga acuannya masih cukup lebar. Ada beberapa pertimbangan yang menjadi penyokong ruang pelonggaran tersebut.
Pertama, tren penurunan inflasi dimana. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi pada Oktober 2019 tercatat sebesar 3,13% (yoy) atau masih berada pada kisaran target yang ditetapkan oleh pemerintah dan BI sebesar 3,5 ± 1% pada 2019.
Kedua, terjaganya stabilitas rupiah terhadap dolar AS di kisaran Rp14.000 per dolar AS. Ketiga, suku bunga kebijakan BI saat ini masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, misalnya Filipina sebesar 4%, Malaysia sebesar 3%, dan Thailand sebesar 1,5%.
Secara riil, -- dengan mengurangi angka inflasi dari suku bunga kebijakan – suku bunga rill di Indonesia masih menarik dibandingkan Thailand dan Taiwan. Suku bunga riil Indonesia, sambungnya, sama menariknya dengan Malaysia.
Airlangga berharap agar kebijakan BI ini secara efektif diikuti oleh sektor perbankan dan keuangan sehingga tren penurunan suku bunga kebijakan BI bisa segera ditransmisikan ke suku bunga kredit/pembiayaan sehingga pada gilirannya menjadi stimulus bagi dunia usaha di tengah ancaman perlambatan ekonomi global.
“Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya memerlukan dukungan dari sisi fiskal namun juga sisi moneter dalam hal ini pihak BI,” imbuh Airlangga. (kaw)