MUSCAT, DDTCNews – Pemerintah Oman kemungkinan besar bakal menunda penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) hingga tahun 2019. Alih-alih memperkenalkan rezim PPN, negara teluk ini akan mendahulukan penerapan cukai untuk sejumlah komoditas.
Kementerian Keuangan Oman mengatakan bahwa cukai akan terlebih dahulu diperkenalkan pada pertengahan tahun 2018. Komoditas seperti tembakau, minuman penambah energi dan berkabonasi/minuman soda akan menjadi target pungutan cukai meskipun belum diketahui berapa tarif cukai untuk komoditas-komoditas tersebut.
“Implementasi PPN tepat waktu akan bermanfaat bagi pemerintah karena akan memberi mereka uang pajak tambahan, namun kami yakin pemerintah mengambil keputusan dengan hati-hati dengan menunda penerapan kebijakan PPN,” kata Hettish Karmani, kepala riset perusahaan investasi U-Capital, Selasa (26/12).
Hingga kini belum jelas alasan pemerintah menunda penerapan PPN. Namun hal ini dapat memberikan ruang kepada pemerintah dan masyarakat terkait implementasi dan efek dari penerapan PPN di Oman.
“Akan ada tambahan waktu bagi pihak berwenang mempelajari pro dan kontra PPN. Keterlambatan dalam implementasi akan memberi lebih banyak waktu kepada sektor korporasi dan masyarakat untuk mempersiapkan rezim PPN,” tambahnya.
Seperti yang diketahui, negara monarki absolut ini tengah dilanda defisit anggaran dan penerapan PPN ini diharapkan dapat menjaga stabilitas neraca keuangan kerajaan. Sejauh ini, baru dua negara di kawasan teluk yang akan memperkenalkan rezim PPN per Januari 2018, yakni Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Sementara itu, lembaga moneter dunia (IMF) memproyeksikan dengan tarif PPN 5% akan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) di negara kawasan teluk sebesar 1%-2% setiap tahunnya. Secara spesifik, IMF memperkirakan dengan penerapan PPN di Oman akan meningkatkan PDB 1,7%. Dengan kata lain akan ada pemasukan tambahan ke kas karajaan sebesar $1,3 miliar tiap tahunnya.
“Sementara ini baru UEA dan Arab Saudi yang bergerak ke arah yang benar sehubungan dengan reformasi ekonomi. Oman dan Bahrain perlu mempercepat langkah mereka karena kondisi fundamental ekonominya lebih rentan,” kata Direktur IMF untuk Timur Tengah & Asia Tengah, Jihad Azour dilansir thenational.ae. (Amu)