MALANG, DDTCNews – Pemerintah Indonesia diminta untuk belajar banyak dari kesuksesan negara Ratu Elizabeth II, Inggris dalam memaksa Google membayar pajak di negara tersebut. Pasalnya, sampai saat ini pemerintah masih kebingungan menerapkan cara yang tepat untuk memaksa Google membayar pajak.
Hal itu diungkapkan Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam. Dia menerangkan Inggris menyerang Google dari dua tekanan, yaitu reputasi dan pemberlakuan jenis pajak baru.
Dari sisi reputasi, Inggris mencitrakan Google sebagai perusahaan yang tak bermoral dan berupaya untuk melakukan upaya penghindaran pajak (tax avoidance) melalui ucapan anggota parlemen Inggris. Ucapan tersebut, lanjut Darussalam, kemudian dimuat dalam media massa dan membuat publik mempertanyakan siasat Google.
"Ada ucapan dari anggota parlemen Inggris yang menyebut kantor perwakilan Google di Inggris bukanlah perusahaan ilegal, melainkan perusahaan tak bermoral. Karena bisa jadi mereka membayar pajak lebih kecil, padahal memiliki penghasilan yang lebih tinggi," ujarnya baru-baru ini.
Bak gayung bersambut, lontaran anggota lembaga legislatif tersebut mendapat perhatian serius dari pemerintah Inggris dengan menerbitkan peraturan perpajakan baru. Negara tersebut kemudian mengetok tarif pajak yang lebih tinggi bagi Google dan perusahaan penyaluran data melalui internet (Over The Top/OTT) lainnya yang enggan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di dalam negeri.
Pajak yang disebut diverted profit tax ini, lanjutnya, merupakan jenis pajak baru dan bukan PPh badan. Sehingga, pengenaan ini tidak menyalahi ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Darussalam menjelaskan, pajak ini hanya dikenakan jika perusahaan OTT diketahui membuat BUT di negara lain yang tarif PPh-nya di bawah 80% dari tarif PPh badan Inggris.
Sebagai contoh, dengan tarif PPh badan Inggris senilai 20%, perusahaan OTT yang ketahuan mendirikan BUT di negara yang memiliki tarif PPh di bawah 16%, akan dikenakan diverted profit tax 25%.
"Dan itu pun akhirnya memaksa Google untuk mendirikan BUT di Inggris karena Google tidak bisa berlindung di balik tirai tax treaty pajak berganda. Saya rasa, berkaca dari pengalaman ini, Indonesia bisa menerapkannya," jelasnya.
Darussalam berpendapat langkah ini juga bisa diterapkan di Indonesia. Apalagi secara payung hukum, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016, yang menyebut bahwa perusahaan OTT di Indonesia wajib membangun BUT.
Apabila BUT sudah terbentuk, maka perusahaan OTT seperti Google bisa dikenakan pajak karena sudah berstatus wajib pajak.
"Namun di sisi lain, Indonesia perlu merevisi kembali definisi BUT. Karena BUT tidak hanya sekadar memiliki bentuk fisik semata. Lebih lanjut, pemerintah juga perlu meninjau kembali tax treaty agar pengenaan pajak baru juga bisa efektif," pungkasnya. (Amu)