PERSPEKTIF

Usulan Pengaturan Kuasa Wajib Pajak Pasca Putusan MK

Redaksi DDTCNews
Rabu, 02 Mei 2018 | 12.50 WIB
ddtc-loaderUsulan Pengaturan Kuasa Wajib Pajak Pasca Putusan MK
Managing Partner DDTC
  1. Beberapa Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
    1. Dibentuknya Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) merupakan pelaksanaan Pasal 32A UUD 1945, yang menyatakan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang;
    2. Namun, hak memaksa tidak menghilangkan hak wajib pajak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak;
    3. Pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa wajib pajak;
    4. Hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa wajib pajak tidak dapat diposisikan hanya bersifat teknis administratif;
    5. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa wajib pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak;
    6. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan, serta adanya kepastian hukum yang adil bagi wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, akan sangat tergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak wajib pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Oleh karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya maka pengaturan Kuasa wajib pajak seharusnya materinya diatur dalam undang-undang.
  1. Beberapa Poin Penting dari Putusan MK
    1. Pertimbangan Putusan MK juga berangkat dari sisi wajib pajak, yaitu wajib pajak mempunyai hak paling mendasar untuk dapat menunjuk kuasa wajib pajak yang memahami perpajakan;
    2. Putusan MK ini menjamin hak wajib pajak untuk memberikan kuasa kepada pihak lain yang memahami masalah-masalah perpajakan dan memperjuangkan hak-hak maupun kepentingannya sebagai wajib pajak.
  1. Beberapa Pertanyaan Mendasar
    1. Siapa yang dapat dikatakan memahami perpajakan?
    2. Siapa yang mempunyai legalitas dan kompetensi untuk menyatakan seseorang memahami perpajakan?
    3. Bagaimana negara-negara lain mengatur tentang Kuasa wajib pajak?
  1. Mencoba untuk Menjawab Pertanyaan berdasarkan Pengaturan di Negara Lain
    1. Pengaturan tentang Kuasa wajib pajak di berbagai negara berdasarkan referensi yang penulis dapatkan, secara garis besar tersaji dalam Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1 - Pengaturan Kuasa Wajib Pajak (Tax Adviser) di Berbagai Negara

Sumber: Rudolf Reibel, (CFE dan IBFD, 2013), Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael, (IMF, 1996), SARS (Pretoria, 2003), Dennis de Widt, Emer Mulligan, dan Lynne Oats, (2016), Michael Walpole dan David Salter, (2014), https://www.trpscheme.com/default.aspx, http://www.sars.gov.za/ClientSegments/Tax-Practitioner_s/Pages/Controlling-Bodies-for-Tax-Practitioners.aspx, http://www.thesait.org.za/?FAQ, https://www.tpb.gov.au/sites/default/files/tax_agent_qualifications_and_experience_summary.pdf

  1. Yang dimaksud dengan tax adviser dalam Tabel 1 di atas adalah orang pribadi yang diperkenankan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan di suatu negara untuk memberikan jasa tax advisory kepada klien. Jasa tax advisory tersebut mencakup: (i) memberikan pertimbangan pajak; (ii) mengisi pelaporan pajak dan membantu wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, serta menjadi kuasa wajib pajak dalam berhadapan dengan otoritas pajak, maupun kuasa hukum wajib pajak pada pengadilan terkait pajak (untuk beberapa negara);
  2. Terdapat negara yang membuka kesempatan dari lulusan Perguruan Tinggi untuk secara otomatis menjadi tax adviser. Misalnya: Afrika Selatan, Finlandia, India, Italia, Luksemburg, Malta, Prancis, Spanyol, dan Ukraina;
  3. Terdapat beberapa catatan atas Tabel 1 di atas: (i) lulusan Perguruan Tinggi umumnya tetap bisa memberikan jasa tax advice walau tidak menyandang profesi ‘tax adviser’; (ii) kriteria diperbolehkannya lulusan Perguruan Tinggi yang bisa menjadi tax adviser umumnya dikombinasikan dengan persyaratan pengalaman kerja; (iii) kriteria diperbolehkannya lulusan Perguruan Tinggi yang bisa menjadi tax adviser dipengaruhi oleh model regulasi yang dianut oleh masing-masing negara; (iv) pada umumnya di negara yang menganut model no regulation, organisasi profesi tax adviser-lah yang mengatur kualifikasi dan kriteria anggotanya (bukan ketentuan peraturan perundang-undangan), termasuk mengharuskan adanya suatu ujian sertifikasi.
  1. Beberapa Usulan dan Harapan
    Dari pengaturan Kuasa wajib pajak di berbagai negara dalam Tabel 1 di atas, pengaturannya bervariasi tergantung preferensi masing-masing negara.  Artinya, terbuka opsi bagi suatu negara untuk mengatur Kuasa wajib pajak berdasarkan tujuan dan kepentingannya masing-masing. Adapun untuk Indonesia terbuka usulan pengaturan sebagai berikut:
  1. Lembaga profesi Kuasa wajib pajak atau konsultan pajak sebagai pihak tempat bernaung bagi mereka yang menjalankan profesi Kuasa wajib pajak;
  2. Untuk dapat menjadi anggota Lembaga profesi kuasa wajib pajak, prioritas diberikan kepada lulusan Perguruan Tinggi bidang perpajakan yang memang sudah melalui beberapa tahapan, mulai dari seleksi dan ujian untuk dinyatakan mempunyai kompetensi memahami perpajakan. Karena, profesi pajak sejatinya adalah domain dari lulusan perpajakan Perguruan Tinggi;
  3. Bagi lulusan Perguruan Tinggi di bidang perpajakan yang memuhi persyaratan, tidak perlu lagi mengikuti ujian untuk menjadi anggota Lembaga profesi Kuasa wajib pajak. Ketentuan seperti ini juga terdapat dalam aturan Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak (PP) sesuai dengan PMK 61/2012 jo PMK 184/2017 dan selama ini tidak ada permasalahan terkait kompetensi lulusan Perguruan Tinggi ketika menjadi Kuasa Hukum di PP;
  4. Mengingat perpajakan adalah multi disiplin ilmu dan untuk menghindari monopoli oleh lulusan bidang perpajakan dari Perguruan Tinggi, lulusan non bidang perpajakan diperkenankan untuk dapat menjadi kuasa wajib pajak melalui jalur penyetaraan dengan mengikuti USKP. Ujian diselenggarakan oleh Lembaga profesi Kuasa wajib pajak. Dapat dipertimbangkan juga adanya keharusan untuk mengikuti pendidikan profesi perpajakan sebagai syarat untuk mengikuti USKP. Penyelenggaranya bisa Perguruan Tinggi, Lembaga profesi kuasa wajib pajak, atau pihak lain;
  5. Jalur penghargaan harus diberikan kepada pensiunan Ditjen Pajak untuk dapat menjadi kuasa wajib pajak dengan persyaratan tertentu yang ditentukan oleh Ditjen Pajak;
  6. Untuk dapat dikatakan suatu Perguruan Tinggi menyelenggarakan pendidikan bidang perpajakan harus diatur persyaratan minimal terkait mata kuliah perpajakan apa yang harus ada dan kurikulumnya seperti apa;
  7. Tugas dan tanggungjawab Lembaga profesi kuasa wajib pajak, ke depan, mengatur kode etik, standar profesi, dan pendidikan  berkelanjutan yang profesional dan bersifat wajib untuk menjaga standar dan meningkatkan pengetahuan para anggota profesi. Program pendidikan berkelanjutan yang profesional ini sebagai bentuk perlindungan kepada wajib pajak bahwa wajib pajak diberi pelayanan oleh Kuasa wajib pajak yang berkompeten;
  8. Dengan usulan di atas, melalui penyerdehanaan untuk menjadi anggota profesi Lembaga Kuasa wajib pajak, harapannya jumlah Kuasa wajib pajak, yang saat ini masih relatif sedikit, akan meningkat secara signifikan dan tetap terjaga kompetensinya melalui pendidikan berkelanjutan yang profesional yang diselenggarakan oleh Lembaga profesi. Implikasinya, akan banyak masyarakat luas tertarik untuk mengerti dan mendalami perpajakan sehingga pajak sebagai bidang keilmuan akan berkembang dan berperan menciptakan masyarakat sadar pajak (tax society);
  9. Dari poin-poin di atas, dapat disimpulkan dalam bentuk Gambar 1 sebagai berikut ini:

Gambar 1 - Usulan Pengaturan Kuasa Wajib Pajak Pasca Putusan MK

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.