LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Menggagas Pajak Pangsa Pasar Sebagai Respons Dampak Pandemi

Redaksi DDTCNews | Kamis, 19 Agustus 2021 | 16:05 WIB
Menggagas Pajak Pangsa Pasar Sebagai Respons Dampak Pandemi

Rafindra Dzakyatha Anindito,
Jakarta Timur, DKI Jakarta

UMKM memiliki peran yang krusial dalam perekonomian Indonesia. Tidak mengherankan jika pemerintah memberikan perhatian terhadap keberlangsungan UMKM. Salah satunya melalui kebijakan pajak. Pemberlakuan skema pajak dalam PP 23/2018 menjadi satu bukti nyata.

Namun, pada kenyataannya, kontribusi UMKM terhadap pajak tampak jalan di tempat. Apa yang memengaruhi kinerja tersebut? Mengapa insentif pajak yang telah dirancang ternyata sulit untuk mendongkrak peran UMKM dalam pajak?

Tambunan (2011) mengidentifikasi beberapa aspek yang menjadi karakteristik UMKM, yakni menyangkut formalitas, lokasi, organisasi dan manajemen, tenaga kerja, proses produksi, orientasi pasar, profil sosial dan ekonomi pemilik, permodalan dan bahan baku, serta kemitraan.

Berdasarkan pada statistik 2019 dalam data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM mendominasi sebanyak 99,99% dari keseluruhan jumlah usaha di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 98,68% usaha mikro (UMi), 1,22% usaha kecil (UK), dan sisanya adalah usaha menengah (UM).

Dengan demikian, dapat dilihat adanya potensi ekonomi UMi dan UK yang cukup besar apabila diberdayakan sehingga bisa mencapai taraf usaha lebih tinggi.

Untuk menentukan akar masalahnya, ada satu aspek lagi yang harus ditinjau, yakni tingkat pendidikan. Menurut data BPS tahun 2019, tingkat pendidikan yang ditamatkan pelaku usaha UMi dan UK lebih banyak pada SD, SMA, SMP, bahkan tidak lulus SD.

Menimbang korelasi antara tingkat pendidikan dan peluang kesejahteraan, dapat dipahami jika muncul kekhawatiran munculnya UMi dan UK bukan karena inovasi, melainkan keterpaksaan untuk bertahan hidup. Artinya, tetap ada risiko dari besarnya keberadaan UMKM.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, kita dapat memperhatikan hambatan pelaku UMKM dalam menjalankan usaha. Data BPS pada 2019 mengisyaratkan masalah pemasaran produk adalah salah satu kendala terbesar pertumbuhan UMKM. Kendala ini dapat disortir menjadi dua pokok penyebab, yaitu keterbatasan pengetahuan pelaku usaha dan pemain pasar yang terlalu kokoh untuk digeser.

Pajak Pangsa Pasar

UNTUK menjawab tantangan pertumbuhan UMKM, pemerintah bisa melihat peluang di dalamnya. Kendala pemasaran dan persaingan usaha dapat dijawab dengan adanya kebijakan yang memberikan panggung dan ruang bagi produk UMKM agar dapat bersaing.

Namun, kesiapan UMKM untuk bersaing serta kepercayaan pembeli pada suatu produk baru tentu membutuhkan waktu. Sementara itu, negara butuh pendapatan secepatnya untuk memberi stimulus sehingga mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi yang sempat terdampak Covid-19.

Oleh karena itu, pemerintah dapat memberlakukan pajak tambahan terhadap penghasilan usaha yang mendominasi pasar dengan pajak pangsa pasar. Pajak ini dikenakan kepada perusahaan yang memiliki produk dengan persentase peredaran tinggi dalam pasar domestik Indonesia untuk jenis produk yang sama.

Misalnya, pajak diberikan secara progresif kepada para pelaku pasar dengan jenis usaha yang diuntungkan selama pandemi. Jenis-jenis usaha tersebut antara lain marketplace, layanan over-the-top, atau makanan dan minuman.

Sebagai contoh salah satu perusahaan membukukan laba dari usaha sebesar lebih dari Rp1,36 triliun pada 2020. Produk dari perusahaan tersebut memimpin pangsa pasar barang X sebesar 39,3% dan barang Y sebesar 77,3% pada tingkat domestik.

Tarif bisa dikenakan progresif sesuai penguasaan pasar per jenis produk masing-masing perusahaan. Misalnya, penguasaan pasar 5%-10% dikenai tarif 2%, penguasaan pasar 10%-20% dengan tarif 3%, dan penguasaan pasar lebih dari 20% mendapat tarif 5%.

Dengan demikian, rumus penghitungan pajak penghasilan (PPh) badan akan menjadi sebagai berikut. Penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh badan, ditambah dengan penghasilan bersih setiap produk-produk unggulan dikalikan dengan tarif pajak pangsa pasar.

Pemajakan tersebut bisa menambal hilangnya potensi pajak dari pengenaan PP 23/2018 yang terdampak akibat pandemi. Tidak meratanya limpahan laba pada masa pandemi sudah selayaknya dikelola pemerintah demi tercipta stabilisasi anggaran dan ekonomi.

Kebijakan ini pada hakikatnya layak diterapkan secara temporer hingga pandemi berakhir atau sudah ada normalisasi situasi. Dengan demikian, pemerintah bisa melakukan mitigasi risiko keuangan pascapandemi. Pada saat bersamaan, pemerintah bisa melakukan rekonstruksi pemberdayaan UMKM menggunakan pendapatan yang diterima dari kebijakan pajak pangsa pasar.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

20 Agustus 2021 | 11:46 WIB

Harus bisa diaplikasikan dengan baik dan benar serta tidak membebani pihak pelakunya. Semangat.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN