Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali mengidentifikasi dugaan 1.112 transaksi mencurigakan terkait dengan tindak pidana perpajakan. Identifikasi PPTAK ini menjadi sorotan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (27/3/2019).
Data PPATK menunjukkan ada 21.690 transaksi mencurigakan pada 2018. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.112 transaksi atau sekitar 5,1% diduga terkait dengan pidana perpajakan. Jumlah tersebut naik 91,3% dibandingkan posisi tahun sebelumnya yang mencapai 581 transaksi.
“Umumnya terkait dengan faktur pajak fiktif dan wajib pajak (WP) yang tidak menyetorkan pajak yang dipungut atau dipotong,” ujar Kepala PPATK Kiagus A. Badaruddin saat menjelaskan temuan berdasarkan sectoral risk assessment (SRA) yang dilakukan dengan Ditjen Pajak (DJP).
Namun demikian, jumlah transaksi yang diidentifikasi itu masih harus ditindaklanjuti oleh PPATK dengan analisis dan pemeriksaan untuk memastikan ada atau tidaknya tindak pidana perpajakan maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti aspek perpajakan influencer. Meskipun tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang perlakuan pajak influencer, pemerintah meminta agar kepatuhan membayar pajak tetap dilaksanakan jika seseorang memiliki pendapatan di atas batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Sebanyak 1.112 transaksi mencurigakan yang telah diidentifikasi oleh PPATK ini akan dianalisis atau diperiksa sebelum disampaikan kepada DJP untuk diteliti lagi. Selama 2018, PPATK telah menerbitkan hasil analisis (HA) terkait pidana perpajakan sebanyak 67, naik 55,8% dari tahun sebelumnya.
Meningkatnya jumlah laporan keuangan transaksi mencurigakan (LKTM) dugaan tindak pidana perpajakan ini merupakan konsekuensi dari keinginan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Adanya penguatan kerja sama berimbas pada penajaman klarifikasi terkait indikator pelanggaran ketentuan pajak pada nasabah bank.
“Sebagai implikasinya, PPATK berhasil menangkap secara lebih dini potensi pelanggaran pada wajib pajak sehingga terjadi peningkatan LKTM,” ujar Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae.
Direktur Penegakan Hukum DJP Yuli Kristiyono mengatakan data indentifikasi itu tidak bisa menjadi tolak ukur adanya peningkatan tindak pidana perpajakan. Hasil yang disampaikan PPATK masih harus dicocokkan dengan data DJP. Ini akan digunakan untuk menguji kepatuhan WP.
“Tergantung dilaporkan atau belum dalam SPT. Untuk tahun lalu, penyidikan terkait pidana pajak yang sudah lengkap sebanyak 127 kasus,” katanya.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Perpajakan Puspita Wulandari mengatakan apabila seseorang mendapatkan penghasilan di atas PTKP, dia wajib membayar pajak. Dia berharap pembayaran pajak didasari pada kesadaran masing-masing, tanpa dipaksa pemerintah.
“Kepatuhan membayar pajak ini sebaiknya atas kesadaran masing-masing karena pajak ini dikumpulkan untuk pembangunan. Jadi mau dia youtuber atau apapun, saya minta untuk membayar pajak,” katanya.
Meskipun sinyal risiko resesi ekonomi di Amerika Serikat sudah sedikit melemah, pemerintah Indonesia mengaku akan tetap menyiapkan langkah-langkah yang bisa menjadi pelindung dari efek negatif. Apalagi, Amerika Serikat juga menjadi salah satu negara tujuan ekspor Indonesia.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia mengatakan pemerintah akan fokus pada reformasi struktural di dalam negeri. Selain berkutat dengan pembenahan industri manufaktur, pemerintah mulai fokus pada kualitas sumber daya manusia. (kaw)