PEMILU 2019

Soal Pajak, Kedua Capres Punya Masalah yang Sama

Redaksi DDTCNews | Selasa, 26 Maret 2019 | 11:40 WIB
Soal Pajak, Kedua Capres Punya Masalah yang Sama

Dradjad Wibowo.

JAKARTA, DDTCNews – Pertarungan politik melahirkan banyak pertentangan ide dan gagasan. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk urusan penerimaan negara, khususnya yang berkaitan dengan pajak.

Hal tersebut diungkapkan oleh pakar ekonomi sekaligus politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo dalam sesi diskusi menyangkut kebijakan pajak lima tahun ke depan. Menurutnya, kedua pasangan calon menghadapi tantangan sama dan jalan solusi juga tidak jauh berbeda.

“Tantangan penerimaan pajak untuk siapapun yang terpilih nanti mau tidak mau harus melakukan ini,” katanya dalam seminar nasional bertajuk ‘Kebijakan Reformasi Perpajakan 2019-2024 Menuju Kemandirian dan Keberlanjutan APBN di Era Revolusi Industri 4.0’, Selasa (26/3/2019).

Baca Juga:
DJPK Minta Pemda Tetapkan Target Pajak Daerah dengan Analisis Tren

Dradjad kemudian menjelaskan tantangan dalam sektor pajak antara lain tax ratio yang masih rendah. Kemudian, kapasitas otoritas pajak yang terbatas dalam menggenjot penerimaan. Hal ini kemudian membuat target pajak tidak pernah tercapai.

Tantangan tersebut, menurutnya, diterjemahkan oleh kedua pasang calon dengan menurunkan tarif, terutama untuk PPh badan. Dari sudut pandangnya, penurunan tarif merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

“Tarif PPh badan perlu diturunkan karena masih terlalu tinggi dibandingkan negara lain di kawasan Asean, terutama terhadap Singapura dan Malaysia,” paparnya.

Baca Juga:
Prabowo: Mau di Dalam atau Luar Pemerintahan, Sama-Sama Demi Rakyat

Menurutnya, penting bagi Indonesia melakukan penyesuaian tarif PPh badan dengan komparasi rezim pajak Malaysia dan Singapura. Pasalnya, kedua negara tersebut merupakan tujuan favorit warga negara Indonesia dalam memarkir dananya.

Selain berkutat kepada relaksasi tarif pajak, sambung Dradjad, penguatan institusi Ditjen Pajak (DJP) juga diperlukan. Oleh karena itu, badan penerimaan yang otonom menjadi kunci agar kinerja penerimaan menjadi optimal.

"Terakhir adalah perlunya penerapan teknologi secara masif di seluruh Indonesia supaya lubang di PPh dan PPN bisa dikurangi, terutama di PPN. Ini karena banyak kegiatan ekonomi yang belum masuk ke dalam sistem perpajakan. Jadi, ini memang menjadi tantangan,” imbuhnya. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Kamis, 25 April 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Pegawai Diimbau Cek Kebenaran Pemotongan PPh 21 oleh Pemberi Kerja

Kamis, 25 April 2024 | 18:54 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Level SAK yang Dipakai Koperasi Simpan Pinjam Tidak Boleh Turun

Kamis, 25 April 2024 | 18:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Ajukan e-SKTD untuk Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional

Kamis, 25 April 2024 | 18:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tagihan Listrik dan Air dalam Sewa Ruangan Kena PPN, Begini Aturannya

Kamis, 25 April 2024 | 17:45 WIB DITJEN PERIMBANGAN KEUANGAN

Imbauan DJPK Soal Transfer ke Daerah pada Gubernur, Sekda, hingga OPD

Kamis, 25 April 2024 | 17:30 WIB KEBIJAKAN ENERGI

Pemerintah Siapkan Tarif Royalti 0% untuk Proyek Hilirisasi Batu Bara

Kamis, 25 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

WP Tak Lagi Temukan Menu Sertel di e-Nofa, Perpanjangan Harus di KPP

Kamis, 25 April 2024 | 15:45 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ingat, Pakai e-Bupot 21/26 Tidak Butuh Installer Lagi Seperti e-SPT