KEBIJAKAN PAJAK

Soal Implementasi PMK 48/2020, Ini Catatan Praktisi Pajak

Redaksi DDTCNews
Kamis, 27 Agustus 2020 | 18.45 WIB
Soal Implementasi PMK 48/2020, Ini Catatan Praktisi Pajak

Managing Partner DDTC Darussalam saat memberikan paparan dalam webinar bertajuk ‘Implementasi Pemungutan PPN Berdasarkan PMK-48’ yang digelar oleh KAPj-IAI, Kamis (27/8/2020). 

JAKARTA, DDTCNews—Kebijakan PPN perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dinilai belum sepenuhnya menjadi perangkat yang paripurna untuk menjawab tantangan pemungutan PPN atas entitas bisnis digital yang berasal dari luar negeri.

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan sejumlah catatan perihal penerapan PPN PMSE dalam PMK No.48/2020. Pertama, terkait dengan prinsip netralitas yang harus dijamin dalam penerapan PPN pada suatu negara.

Darussalam menyebutkan salah satu prinsip netralitas terkait dengan prasyarat administrasi dalam pemungutan PPN tidak boleh menciptakan perbedaan perlakuan antara perusahaan domestik dan perusahaan asing.

Menurutnya, pada tataran tersebut prinsip netralitas belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu contoh adalah basis identifikasi pelaku usaha kena pajak PPN di dalam negeri menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Kemudian, pelaku usaha asing yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE menggunakan terminologi nomor identitas perpajakan. Pada gilirannya akan memengaruhi pemenuhan hak kewajiban perpajakan.

"Prinsip netralitas ini mungkin pada saat mekanisme pelaporan PPN PMSE," katanya dalam webinar bertajuk ‘Implementasi Pemungutan PPN Berdasarkan PMK-48' yang digelar oleh KAPj-IAI, Kamis (27/8/2020).

Tantangan lainnya, sambung Darussalam, tidak adanya panduan internasional jika terjadi sengketa PPN antarnegara/yurisdiksi. Meski potensi sengketa PPN tidak sebesar PPh dalam sistem pajak internasional, tetapi bukan berarti penerapan PPN lintas negara nihil potensi sengketa.

Menurutnya, terdapat potensi sengketa terkait negara mana yang berhak memungut PPN atas transaksi digital lintas yurisdiksi. Hal ini dapat terjadi jika tolak ukur penetapan yurisdiksi pemungut PPN seperti lokasi tempat tinggal, alamat internet protocol (IP) dan penggunaan jasa keuangan dilakukan pada negara yang berbeda.   

"VAT Guideline pada 2017 banyak berbicara soal tax avoidance PPN tetapi mekanisme sanksi dikembalikan kepada masing-masing negara dan ini sangat berbeda dengan pengaturan PPh. Hal ini terjadi karena panduan dibuat belum mempertimbangkan berkembangnya model bisnis digital," jelas Darussalam.

Selain itu, catatan lain terkait penerapan PMK 48/2020 yang menyasar semua transaksi baik pelaku usaha digital kepada entitas bisnis (b2b) dan pelaku usaha digital kepada konsumen akhir (b2c).

Darussalam menilai sebagian besar negara yang menerapkan kebijakan serupa PPN PMSE hanya mengatur transaksi pelaku usaha digital kepada konsumen akhir atau (b2c). Data statistik menyebutkan sudah ada 48 negara menerapkan PPN PMSE.

Lalu, sebanyak 38 negara atau yurisdiksi di antaranya hanya menyasar transaksi yang dilakukan kepada konsumen akhir (b2c). Sisanya 10 negara termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan kombinasi atau menjangkau semua transaksi baik b2b dan b2c.

"Jadi ada masalah kesederhanaan pemungutan karena PKP dalam negeri bisa saja bayar dobel PPN PMSE, meskipun pemerintah punya mekanisme untuk memudahkan administrasinya. Tapi terlepas dari semua itu, ini (PMK 48/2020) merupakan suatu terobosan untuk menjamin hak Indonesia atas PPN PMSE," ujarnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Mudakkir
baru saja
semoga DDTC semakin sukses dan jayaa