Pertanyaan:
PERKENALKAN, nama saya Mita. Saya adalah karyawan bagian keuangan di salah satu perusahaan periklanan digital di Jakarta. Bulan lalu, saya menikah dengan pria yang juga bekerja sebagai karyawan.
Sepanjang yang saya pahami, saya dapat mengajukan penghapusan NPWP karena status saya yang sudah menikah. Apakah hal tersebut benar? Apa syarat-syaratnya? Bagaimanakah kewajiban perpajakan saya setelah penghapusan NPWP tersebut dilakukan?
Mita, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih Ibu Mita atas pertanyaannya. Sistem pengenaan pajak atas keluarga diatur dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU PPh) sebagai berikut:
“Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.”
Dengan adanya konsep keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis dan penggabungan penghasilan, penghasilan istri harus digabungkan dengan penghasilan suami. Begitu pula dengan pemenuhan kewajiban perpajakannya yang juga digabung dan dilakukan oleh suami selaku kepala keluarga.
Oleh karena itu, dirjen pajak mengatur penghapusan NPWP bagi wanita kawin dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PER 04/2020), yang berbunyi:
“Terhadap wanita kawin yang telah memiliki NPWP, namun menghendaki pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabung dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suami, atas NPWP wanita kawin tersebut dilakukan penghapusan NPWP.”
Selanjutnya, persyaratan tentang penghapusan NPWP bagi wanita kawin dapat dilihat pada Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (7) dan ayat (8) PER 04/2020 sebagai berikut:
“(1) Kepala KPP dapat melakukan penghapusan NPWP atas Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, berdasarkan permohonan atau secara jabatan.
(2) Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain dalam hal:
....
d. wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya;
(7) Permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik atau tertulis, dan dilampiri dengan dokumen pendukung yang menunjukkan keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(8) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (7), yaitu:
....
d. untuk wanita kawin yang memiliki NPWP terpisah dari suaminya, berupa:
Setelah melakukan penghapusan NPWP maka ketentuan perpajakan bagi wanita kawin mengacu pada Pasal 8 ayat (1) UU PPh yang berbunyi:
“Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.”
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU PPh mengatur:
“Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.”
Berdasarkan pada Pasal 8 ayat (1) UU PPh beserta Penjelasannya, dapat disimpulkan penghasilan Ibu Mita sebagai staf keuangan tidak digabungkan dengan penghasilan suami karena hanya diperoleh dari satu pemberi kerja dan tidak berhubungan dengan penghasilan suami.
Adapun penghasilan Ibu Mita dianggap sebagai penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan secara final, yang kemudian akan dilaporkan dalam SPT PPh orang pribadi suami Ibu Mita.
Demikian jawaban kami. Semoga membantu.