ANALISIS TRANSFER PRICING

Ketentuan Antifragmentasi Usaha dan Studi Kasus yang Relevan

Redaksi DDTCNews
Senin, 12 November 2018 | 06.48 WIB
ddtc-loaderKetentuan Antifragmentasi Usaha dan Studi Kasus yang Relevan
DDTC Consulting

PERJANJIAN Penghindaran Pajak Berganda (P3B) secara umum mengatur bahwa suatu penghasilan hanya dikenakan pajak di negara tempat penerima penghasilan menjadi subjek pajak dalam negeri (negara residen), kecuali jika penghasilan tersebut diperoleh dari kegiatan bisnisnya di negara lain (negara sumber) melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT). Oleh karena itu, pengertian BUT yang dijelaskan dalam P3B menjadi hal yang krusial untuk menentukan apakah negara sumber mendapatkan hak pemajakan atau tidak (OECD, 2015).

Sebelum laporan akhir Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dirilis, model P3B tahun 2014 yang dikeluarkan oleh OECD menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria yang dikecualikan dari definisi BUT. Hal ini dijabarkan pada Pasal 5 ayat (4) OECD Model. Salah satu poin dari Pasal 5 ayat (4) OECD Model menjelaskan bahwa tempat atau kegiatan usaha yang bersifat persiapan dan/atau penunjang dikecualikan dari definisi BUT.

Hal ini dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional dengan melakukan pembagian atau “fragmentasi” kegiatan bisnisnya dengan cara memisahkan aktivitas yang dianggap sebagai kegiatan persiapan dan/atau penunjang untuk menghindari terbentuknya BUT (Almeida dan Toledano, 2018).

Perkembangan skema yang dilakukan oleh perusahaan multinasional ini merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian OECD dan G20 melalui Rencana Aksi 7 BEPS. Melalui Rencana Aksi 7 BEPS, OECD dan G20 mengambil langkah untuk membaharui ketentuan atau definisi tentang BUT berupa penurunan ambang batas BUT yang berdampak pada hak pemajakan bagi negara sumber (Brauner, sebagaimana dikutip oleh Darussalam dan Kristiaji, 2017).

Salah satu fokus pembaruan Rencana Aksi 7 BEPS adalah dengan memperkenalkan ketentuan antifragmentasi usaha. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas pengertian BUT untuk menghindari terbentuknya BUT dengan cara membagi atau memfragmentasi suatu kegiatan bisnis yang terintegrasi menjadi beberapa bagian operasi kecil yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan usaha persiapan dan/atau penunjang.

Ketentuan antifragmentasi usaha memberikan tambahan paragraf baru yaitu paragraf 4.1 terhadap Pasal 5 ayat (4) OECD Model.

Ketentuan antifragmentasi usaha ini berlaku terhadap dua kondisi, yaitu.

  1. Ketika perusahaan nonresiden atau pihak afiliasinya yang merupakan closely related enterprise telah memiliki BUT di negara sumber melalui suatu aktivitas tertentu, dan aktivitas persiapan dan/atau penunjang merupakan fungsi pelengkap yang menjadi bagian dari kegiatan usaha yang padu atau utuh; atau
  2. Ketika belum terbentuk BUT, tetapi kombinasi dari kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan nonresiden dan pihak afiliasinya yang merupakan closely related enterprise menghasilkan suatu kegiatan usaha yang padu atau utuh yang bukan merupakan aktivitas persiapan dan/atau penunjang.

Salah satu kasus yang relevan adalah putusan pengadilan pajak India yang dikeluarkan pada tahun 2016 terkait sengketa antara otoritas pajak India (IRS) dengan J. Ray McDermott Eastern Hemisphere Ltd. (McDermott). McDermott merupakan subjek pajak dalam negeri Mauritius yang bergerak di bidang transportasi, instalasi dan konstruksi anjungan lepas pantai (offshore platform) untuk eksplorasi minyak.

McDermott memiliki beberapa kontrak dengan perusahaan independen di India untuk melakukan pekerjaan dan layanan di berbagai lokasi di India. McDermott juga memiliki pihak afiliasi untuk memberikan dukungan dan koordinasi bagi operasi McDermott di India melalui suatu kantor penghubung (pihak afiliasi ini bukan merupakan subjek pajak dalam negeri India).

Salah satu poin sengketa adalah penentuan apakah kantor penghubung yang berlokasi di India membentuk BUT atau tidak. Berdasarkan putusan pajak India, kantor penghubung yang berlokasi di India tidak membentuk BUT karena kegiatan usaha yang dilakukan hanya bersifat persiapan dan/atau penunjang. Selain itu, mengacu pada P3B yang berlaku, secara eksplisit dijelaskan bahwa kantor penghubung menjalankan kegiatan yang bersifat persiapan dan/atau penunjang sehingga tidak membentuk BUT.

Apabila kasus di atas dianalisis menggunakan ketentuan antifragmentasi yang diusung BEPS, kantor penghubung di India dapat dipandang sebagai satu kesatuan dan bukan merupakan aktivitas yang terpisah. Hal ini dikarenakan fungsi yang dilakukan oleh kantor penghubung di India memberikan value bagi kegiatan operasi McDermott di India berupa dukungan dan koordinasi dengan partner independen McDermott di India. Selain itu, aktivitas ini tidak dapat dipisahkan dari kegiatan usaha yang dilakukan McDermott di India. Dengan demikian, kantor penghubung tersebut dapat dikategorikan sebagai BUT.

Studi kasus lain adalah terkait dengan Amazon, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ritel online. Amazon memiliki gudang yang tersebar di seluruh dunia. Keberadaan gudang Amazon tersebut tidak dapat dianggap sebagai kegiatan persiapan dan/atau penunjang yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) OECD Model karena fungsi pergudangan merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan usaha Amazon.

Kesimpulannya, pasca-BEPS perusahaan multinasional tidak lagi dapat menghindari terbentuknya BUT dengan skema fragmentasi usaha sepanjang dapat dibuktikan bahwa kegiatan persiapan dan/atau penunjang tersebut merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan usaha secara keseluruhan.

Ketentuan antifragmentasi usaha dapat diterapkan oleh masing-masing negara dengan cara menandatangani instrumen multilateral (MLI) yang berfungsi sebagai alat untuk menerapkan Rencana Aksi BEPS, kemudian memilih opsi ketentuan antifragmentasi usaha dan P3B yang dicakup. Selain itu, negara mitra P3B juga harus melakukan hal yang sama agar ketentuan antifragmentasi usaha ini dapat berjalan.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.