ANALISIS PAJAK

Prinsip Kewajaran atas Harta Tidak Berwujud Pasca-BEPS

Jumat, 26 Oktober 2018 | 06:30 WIB
Prinsip Kewajaran atas Harta Tidak Berwujud Pasca-BEPS

Yurike Yuki,
DDTC Consulting

HARTA tidak berwujud menjadi semakin penting dalam dunia usaha, yaitu sebagai salah satu aset yang bersifat unik sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lain. Tidak mengherankan, isu perpajakan terkait harta tidak berwujud juga telah menjadi isu utama.

Pentingnya isu harta tidak berwujud, dibuktikan dengan atensi khusus yang diberikan oleh negara-negara G20 bersama OECD dalam merumuskan Aksi 8 dari Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang termasuk dalam Laporan Final OECD/G20 terkait Aksi 8-10, yaitu Aligning Transfer Pricing Outcomes with Value Creation yang dipublikasikan pada tanggal 5 Oktober 2015. Sebagai hasil Proyek BEPS, Bab VI OECD Guidelines 2017 (OECD 2017) berjudul “Special Consideration for Intangibles” diubah secara keseluruhan dari versi sebelumnya (OECD 2010).

Sebelum Aksi 8 Proyek BEPS, diketahui bahwa banyak perusahaan multinasional menempatkan harta tidak berwujud berharganya di perusahaan-perusahaan “cash box” yang tidak melakukan aktivitas ekonomi atau melakukan aktivitas ekonomi secara terbatas. Perusahaan “cash box” adalah perusahaan yang didirikan di negara dengan tarif pajak relatif rendah dan pada esensinya hanya mempunyai uang kas, harta tidak berwujud, serta memiliki jumlah pegawai yang sedikit.

Pada umumnya, perusahaan “cash box” di negara surga pajak telah dirancang sedemikian rupa sehingga sekaligus terhindar dari pemajakan di negara sumber dan domisili (John Prebble, 1987). Skema tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintahan negara-negara berkembang karena skema “penghindaran pajak” tersebut dimungkinkan dengan mengalokasikan harta tidak berwujud serta kas yang mempunyai ciri-ciri sebagai aset yang mudah dipindahkan dari satu negara ke negara lainnya (negara surga pajak).

Dalam versi OECD 2010, pemilik harta tidak bewujud (pihak yang berhak mendapatkan keuntungan dari eksploitasi harta tidak berwujud) ditekankan pada pihak yang menanggung beban serta risiko terkait pengembangan harta tidak berwujud, yaitu dengan kata lain pihak yang mendanai pengembangan harta tidak berwujud. Untuk menangkal skema perusahaan “cash box”, OECD 2017 menggeser konsep pemilik harta tidak berwujud dari pihak yang memiliki modal ke pihak yang menjalankan fungsi DEMPE (Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation).

OECD 2017 menekankan bahwa tenaga kerja lebih penting daripada modal (Oliver R Hoor, 2018). Oleh karena itu, pihak yang seharusnya berhak mendapatkan keuntungan dari ekspoitasi harta tidak berwujud bukan merupakan pihak yang hanya mendanai pengembangan harta tidak berwujud tersebut, melainkan pihak penyedia tenaga kerja yang melakukan fungsi DEMPE (Andrea Musselli dan Alberto Musselli, 2017). Pihak yang mempunyai fungsi hanya sebagai penyedia modal/dana, hanya berhak mendapatkan keuntungan rutin dari investasi modal (dapat dipersamakan dengan keuntugan dari bunga), sedangkan keuntungan non-rutin (keuntugan dari eksploitasi harta tidak berwujud) seharusnya diatribusikan kepada pihak-pihak yang melakukan fungsi DEMPE.

Konsep pemilik harta tidak berwujud dalam OECD 2017 mempunyai dampak yang signifikan terhadap struktur-struktur perusahaan multinasional yang memiliki skema kepemilikan harta tidak berwujud secara terpusat di mana pengembangan harta tidak berwujud tersebut dilakukan oleh penyedia jasa berupa contract R&D. Menurut OECD 2017, khususnya paragraf 6.54, contract R&D yang selama ini diasumsikan menanggung risiko yang rendah sehingga hanya mendapatkan tingkat keuntungan yang terbatas (remunerasi berdasarkan cost plus), sekarang justru dapat dikategorikan sebagai pihak yang berhak mendapatkan keuntungan non-rutin dari eksploitasi harta tidak berwujud karena menjalankan fungsi DEMPE.

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa OECD 2017 tidak merekomendasikan struktur kepemilikan intellectual property (IP) yang terpusat. Kecuali apabila perusahaan tersebut memang melakukan seluruh atau porsi yang signifikasi dari fungsi DEMPE. Namun demikian, hal tersebut memunculkan pertanyaan, apakah pendekatan baru tersebut konsisten dengan arm’s length principle sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang fokus terhadap “kondisi yang berlaku antara pihak independen”?

Menurut berbagai pakar transfer pricing (Andrea Musselli & Alberta Musselli 2017, Oliver R Hoor 2018, serta Marta Pankiv 2017), standar baru terkait harta tidak berwujud justru tidak mencerminkan kondisi yang berlaku antara pihak independen. Dalam transaksi independen, pihak yang memiliki modal tetap mempunyai pengaruh yang kuat serta tetap mendapatkan porsi keuntungan yang lebih dibandingkan dengan pihak penyedia jasa tenaga kerja.

Meskipun standar baru dalam OECD 2017 tersebut dianggap berhasil memenuhi tujuan utama Aksi 8 dari Proyek BEPS, yaitu untuk membatasi pendapatan yang diterima oleh perusahaan yang minim substansi, banyak pihak menilai hal tersebut justru bertentangan dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle). Apabila dicermati, dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan perkembangan terkini, prinsip arm’s length principle bukan serta merta mempunyai tujuan untuk menangkal perpajakan berganda, tetapi dapat juga berfungsi sebagai prinsip untuk menangkal double non-taxation.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 25 April 2024 | 13:00 WIB KEANGGOTAAN OECD

OECD Rilis Roadmap Aksesi, Ada 8 Prinsip Pajak yang Perlu Diadopsi RI

Kamis, 18 April 2024 | 16:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ada Transaksi Afiliasi, SPT Tahunan Wajib Dilampiri Ikhtisar TP Doc

Rabu, 03 April 2024 | 08:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hanya 5 Hari! Diskon 40% untuk Buku Pajak dan Langganan Premium

Selasa, 02 April 2024 | 12:00 WIB KPP PRATAMA GORONTALO

Diedukasi soal Beneficial Ownership, WP Diimbau Hindari Praktik Ilegal

BERITA PILIHAN