Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengimbau peserta tax amnesty kembali mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS) jika masih memiliki harta yang belum diungkapkan.
Fungsional Penyuluh Ahli Madya DJP Arif Yunianto mengatakan keikutsertaan dalam program PPS dapat menghindarkan peserta tax amnesty dari sanksi atas harta yang belum dilaporkan. Pasalnya, UU Pengampunan Pajak mengatur ancaman sanksi sebesar 200% jika peserta tax amnesty ternyata masih memiliki aset yang belum diungkapkan.
"Memang besar sekali karena ini konsekuensi [tidak melaporkan harta dengan benar]," katanya dalam program Tax Live DJP, dikutip Jumat (28/1/2022).
Arif mengatakan wajib pajak peserta tax amnesty dapat mengikuti kebijakan 1 PPS. Skema PPS tersebut berlaku untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.
Dia kemudian memberikan ilustrasi tentang wajib pajak peserta tax amnesty yang masih memiliki harta berupa tabungan senilai Rp2 miliar pada 2013 tetapi belum dilaporkan. Pada wajib pajak tersebut, dapat memilih opsi antara mengikuti PPS dengan hanya mendeklarasikan harta dan sekalian diinvestasikan pada surat berharga negara (SBN) atau untuk hilirisasi sumber daya alam/energi terbarukan.
Jika wajib pajak tersebut memilih hanya mendeklarasikan harta di dalam negeri, akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 8% atau senilai Rp160 juta.Â
Arif menyebut potensi kerugian yang dialami wajib pajak tersebut akan lebih besar jika memutuskan tidak mengikuti PPS. Alasannya, ketika harta peserta tax amnesty tersebut diketahui DJP, sanksi yang dikenakan akan jauh di atas tarif PPh final pada PPS.
Pada wajib pajak tersebut, DJP akan mengenakannya tarif PPh final sebesar 30% atau senilai Rp600 juta. Selain itu, wajib pajak juga akan dikenakan sanksi sebesar 200% dari Rp600 juta tersebut, sehingga nilainya Rp1,2 miliar.
Dari penghitungan itu, besaran PPh final dan sanksi yang harus dibayarkan wajib pajak akan mencapai Rp1,8 miliar.
"Ini gambarannya, kalau ikut PPS [membayar PPh final] Rp160 juta, dan kalau tidak ikut lebih besar lagi, sampai Rp1,8 miliar," ujarnya.
Arif menambahkan kemungkinan DJP menemukan harta yang tidak dilaporkan sudah semakin besar. Hal itu terjadi karena saat ini DJP dapat memanfaatkan data dari skema automatic exchange of information (AEoI), memiliki akses informasi tidak terbatas dari seluruh sektor keuangan, serta menjalin kerja sama global untuk penagihan.
Apalagi, semua proses transaksi dilakukan secara nontunai sehingga akan mempermudah DJP untuk menelusurinya.
"Maka hampir pasti, dengan kondisi saat ini, besar kemungkinan DJP akan mengetahuinya," ujarnya.
Pemerintah menyelenggarakan PPS berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) selama 6 bulan, mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022. PPS dapat diikuti wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.
Selain itu, program tersebut juga dapat diikuti wajib pajak orang pribadi yang belum mengikuti tax amnesty dengan basis aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan 2020.
Nantinya, peserta PPS akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final yang tarifnya berbeda-beda tergantung pada perlakuan wajib pajak terhadap harta yang diungkapkan. (sap)