Ilustrasi. Kantor Pusat OECD di Paris, Prancis.Â
PARIS, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengeklaim substance based income exclusion dalam ketentuan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) bukanlah celah hukum atau loophole dalam ketentuan pajak minimum global.
Deputy Director of OECD Centre for Tax Policy and Administration Achim Pross mengatakan kehadiran substance based income exclusion justru diperlukan guna mengurangi dampak pajak minimum global terhadap perusahaan multinasional yang memiliki aktivitas ekonomi substansial di negara berkembang.
"Hampir seluruh negara anggota Inclusive Framework berpandangan dampak dari Pilar 2 haruslah sebanding dengan substansi ekonominya," kata Pross seperti dilansir Tax Notes International, dikutip pada Minggu (5/11/2023).
Saat ini, lanjut Pross, banyak negara berkembang yang memberikan insentif pajak yang berbasiskan pada biaya yang terkait dengan aset berwujud seperti biaya investasi untuk pengadaan mesin ataupun pembangunan pabrik.
Pross menilai insentif pajak atas intellectual property yang sering kali diberikan oleh negara maju justru tidak mendapatkan perlakuan khusus dalam Pilar 2. Alhasil, kehadiran substance based income exclusion pada Pilar 2 justru berpihak pada negara berkembang.
Dalam penghitungan top-up tax sebagaimana dimaksud dalam Pilar 2, substance based income exclusion berperan sebagai pengurang dari GloBe income. Makin rendah GloBE income, makin rendah pula top-up tax yang harus dibayar oleh grup perusahaan multinasional.
Adapun yang dapat diklaim sebagai substance based income exclusion pada 2023 adalah 8% dari nilai aktiva tetap dan 10% dari biaya gaji. Persentase nilai aktiva tetap dan biaya gaji yang dapat diklaim sebagai substance based income exclusion bakal berkurang setiap tahun selama 10 tahun ke depan.
Pada 2032 dan tahun-tahun selanjutnya, substance based income exclusion hanyalah sebesar 5,4% dari nilai aktiva tetap dan 5,8% dari biaya gaji.
Dengan desain kebijakan ini, anak usaha grup perusahaan multinasional bisa saja tidak dibebani top-up tax meski tarif pajak efektif yang ditanggung anak usaha tersebut tidak mencapai 15%.
Hal ini terjadi bila anak usaha grup perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi ternyata memiliki substance based income exclusion yang lebih tinggi dibandingkan GloBE income-nya.
Sebagai informasi, ketentuan pajak minimum global sebagaimana dimaksud dalam Pilar 2 berlaku terhadap perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta per tahun.
Saat ini Kementerian Keuangan sedang menyusun PMK guna mengadopsi Pilar 2. Rencananya, pemerintah Indonesia akan menerapkan income inclusion rule (IIR) sekaligus qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) mulai tahun depan. (rig)