OLEH-OLEH DDTC DARI KUALA LUMPUR

Model Bisnis Tersentralisasi: Motivasi Bisnis & Isu Transfer Pricing

Redaksi DDTCNews
Senin, 02 Juli 2018 | 23.31 WIB
Model Bisnis Tersentralisasi: Motivasi Bisnis & Isu Transfer Pricing

Puput Bayu Wibowo, Ani Rahmatika, dan Fakry Sodikin bersama dengan pengajar Jeroen Kuppens dan Anuschka Bakker.

TULISAN ini merupakan bagian dari materi kursus yang kami dapatkan saat mengikuti Principles of Transfer Pricing Course. Kursus tersebut diselenggarakan oleh International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Juni hingga 29 Juni 2018. Keberangkatan kami ke Kuala Lumpur ini melalui Human Resources Development Program (HRDP) yang diberikan oleh DDTC.

Selama beberapa dekade terakhir, mayoritas perusahaan multinasional/Multinational Enterprises (MNE) mencoba untuk mengurangi atau menghemat biaya-biaya dan berinovasi kepada model bisnis centralized operating model yang sebelumnya banyak menggunakan decentralized operating model. Model bisnis yang tersentralisasi merupakan salah satu model bisnis yang umum diadopsi oleh MNE saat ini. Model ini lazim diaplikasikan sebagai strategi MNE dalam meningkatkan sinergi grup, mencapai efisiensi dengan mereduksi biaya, dan pada akhirnya memaksimalkan laba usaha grup.

Mengapa Sentralisasi?

Dewasa ini, MNE dihadapkan pada berbagai tantangan yang terdapat di pasar global, seperti optimalisasi biaya, kompetisi pasar, kecepatan dalam merespon perubahan kondisi ekonomi dan industri, on-time delivery, pelayanan konsumen, serta pengendalian terhadap kualitas barang/jasa.

Meskipun penerapan model desentralisasi tidak dapat dikesampingkan dalam bisnis perusahaan, namun dalam beberapa aspek atau aktivitas tertentu, implementasi model sentralisasi dipandang lebih tepat untuk diterapkan dalam beberapa kondisi/aktivitas, antara lain sentralisasi pemasaran dan pengadaan.

Model Sentralisasi Aktivitas Pemasaran dan Pengadaan

Sentralisasi aktivitas pemasaran dan pengadaan umumnya diterapkan dengan menunjuk atau mendirikan satu perusahaan yang biasa disebut sebagai marketing hub dan procurement center. Model sentralisasi ini lazim diadopsi oleh beberapa grup usaha, salah satunya grup usaha yang bergerak di sektor komoditas seperti perkebunan, batubara, dan chemicals. Pada praktiknya, pengimplementasian model ini dapat berbeda-beda di masing-masing grup usaha. Dalam tulisan ini, akan dibahas secara khusus dua contoh bentuk model sentralisasi, yaitu marketing hub/agen dan centralized procurement hub.

  1. Marketing Hub/Agent

Skema ini dapat diilustrasikan pada bagan berikut ini:

Sumber: S.K Bilaney, Impact of BEPS Project on Centralized Operating Models, International Transfer Pricing Journal, March/April 2017.

Pada skema sebelum sentralisasi struktur pemasaran di atas, entitas induk di Negara A fokus pada pemasaran dan penjualan produk komoditas ke Negara B dengan secara langsung berhubungan dengan pelanggan pihak ketiga yang berada di Negara B. Sedangkan pada skema sesudah sentralisasi struktur pemasaran, entitas induk di Negara A terlebih dulu membuat marketing hub di Negara B dan melakukan penjualan produk komoditas ke marketing hub yang melakukan fungsi pemasaran, penjualan, dan distribusi barang kepada pelanggan (pihak ketiga).

  1. Centralized Procurement Hubs

Skema ini dapat diilustrasikan pada bagan berikut ini:

Pada skema di atas, grup usaha membentuk sebuah perusahaan yang beroperasi sebagai sentralisasi pusat pengadaan atau procurement center. Sebagai procurement center, perusahaan ini berperan untuk mengumpulkan penawaran atau kebutuhan bahan baku dari seluruh entitas di dalam grup usaha, salah satunya entitas di Negara B. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, procurement center akan mencari dan menentukan vendor/supplier, melakukan pemesanan bahan baku, melakukan negosiasi harga, dan memastikan kualitas bahan baku yang dibeli.

Terkait dengan adanya procurement center ini,  terdapat perubahan fungsi dan risiko dari entitas di Negara B, yaitu perubahan dari fully-fledged distributor menjadi limited risk distributor. Dengan dibentuknya procurement center , fungsi pengadaan dan risiko yang terkait atas fungsi tersebut yang semula dilakukan dan dijalankan oleh entitas di Negara B, menjadi berpindah kepada entitas yang berperan sebagai procurement center.

Isu Transfer Pricing dan Upaya Mitigasi

  1. Commercial or Financial Relations

Bahwa MNE harus dapat mendokumentasikan alasan komersial untuk menempatkanmarketing hub dalam TP Documentation secara tepat. Contohnya melalui alasan-alasan komersial berikut ini:

  • Jarak yang dekat dengan pelanggan/pasar utama;
  • Efesiensi pendanaan;
  • Kemudahan dalam melakukan bisnis; dan
  • Lingkungan yang multikultur/multi bahasa.

Demikian juga dengan procurement center, MNE harus dapat mendokumentasikan alasan komersial untuk menempatkan procurement center dalam TP Documentation secara tepat, seperti berikut:

  • Skala ekonomi;
  • Kekuatan tawar-menawar yang lebih baik dengan para supplier;
  • Tim penilaian dan pemeriksaan yang berkualitas sehingga kualitas standar dari produk yang diperoleh untuk seluruh anggota grup tetap terjaga.
  1. Economic Substance

Substansi ekonomi dari rangkaian transaksi yang melibatkan marketing hub harus didokumentasikan dan dibuktikan dengan melakukan analisis fungsional. Yakni, fungsi yang dijalankan, aset yang dipergunakan, serta risiko yang ditanggung oleh marketing hub tersebut. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisis fungsional marketing hub tersebut:

  • Fungsi yang dijalankan oleh marketing hub harus menunjukkan bahwa fungsi-fungsi yang sebelumnya dijalankan oleh wajib pajak tidak lagi dijalankan oleh wajib pajak melainkan telah dialihkan kepada marketing hub.
  • Wajib pajak harus mengikuti enam langkah proses sebagaimana diatur dalam Action 8-10 Final Report untuk menganalisis risiko dalam transaksi antara Wajib Pajak dan marketing hub-nya, antara lain:
    1. Mengidentifikasi risiko ekonomi yang signifikan;
    2. Mengidentifikasi pihak mana yang menanggung risiko berdasarkan perjanjian;
    3. Mengidentifikasi pihak mana yang mampu mengendalikan risiko;
    4. Menganalisa apakah risiko yang ditanggung berdasarkan perjanjian konsisten dengan aktivitas para pihak;
    5. Apabila risiko yang ditanggung suatu entitas berdasarkan kontrak tapi pada faktanya entitas tersebut tidak dapat mengendalikan risiko atau tidak memiliki kapasitas keuangan untuk menanggung risiko dimaksud, maka risiko akan dialokasikan kepada pihak yang melakukan kendali dan memiliki kapasitas keuangan menanggung risiko itu;
    6. Menentukan harga transaksi dari alokasi risiko pada tahap 5.

Dari sisi procurement center, substansi ekonomi harus didokumentasikan dengan baik mencakup pendokumentasian atas fungsi, aset, dan risiko dari wajib pajak dan procurement center. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa personel kunci dan pengambil keputusan yang bertanggung jawab untuk kegiatan pengadaan berada di negara tempat procurement center dan negara tempat penggajian (payroll). Selain itu, pengalokasian risiko yang terkait dengan kegiatan pengadaan (seperti fluktuasi harga produk) harus tertuang dalam ketentuan kontrak yang disepakati oleh para pihak baik dalam bentuk maupun substansinya.

  1. Arm’s Length Price Arrangement

Penentuan harga antara wajib pajak dengan marketing hub harus selaras dengan fungsi,  aset dan risiko yang ditanggung oleh marketing hub dalam arrangement tersebut dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

Pertama, apabila marketing hub bertindak sebagai marketing agent dan tidak melakukan kegiatan buy and sellyang perannya hanya terbatas dalam menyediakan jasa pemasaran, dengan asumsi tidak menanggung risiko pasar dan risiko terkait dengan spesifikasi produk, maka renumerasi yg wajar ditentukan dengan menambahkan arm's length mark-up ke total biaya atau dapat berbentuk komisi yang ditentukan dari nilai penjualan. Sebaliknya, apabila marketing hub bertindak sebagai marketing agent yang melakukan kegiatan buy and sell yang perannya tidak hanya terbatas dalam menyediakan jasa pemasaran, dengan asumsi menanggung risiko pasar dan risiko terkait dengan spesifikasi produk, maka renumerasi yg wajar ditentukan dengan membuat skema gross profit margin atau dengan menentukan harga jual kembali yang wajar atas produk.

Kedua, terkait dengan procurement center, penentuan harga antara wajib pajak dengan procurement center harus selaras dengan penciptaan nilai (value creation) yang dilakukan dari sentralisasi tersebut. Adapun basis remunerasinya dapat mengacu kepada penambahan arm’s length markup ke total biaya atau penentuan harga jual kembali dengan menambahkan appropriate margin atas harga beli yang mencerminkan fungsi, aset, dan risiko aktivitas procurement.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan di atas, sangat penting bagi MNE untuk mengevaluasi struktur pusat pemasarannya dan pusat pengadaannya mengambil langkah-langkah antisipasi untuk menghindari koreksi pajak yang tidak diinginkan.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.