Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Rezim pajak korporasi minimum global dengan tarif 15% yang baru disepakati oleh Inclusive Framework diperkirakan tidak menyumbang tambahan penerimaan pajak yang signifikan bagi Indonesia.
Analis Kebijakan Muda Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Melani Dewi Astuti mengatakan ketentuan income inclusion rule (IIR) pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) lebih memberikan hak pemajakan kepada yurisdiksi domisili yang notabene adalah negara maju.
"Biasanya ultimate parent entity (UPE) itu ada di negara maju dan di Indonesia jumlahnya tidak banyak. Jadi saya kira tidak ada potensi yang terlalu besar bagi Indonesia dari Pilar 2," ujar Melani dalam pada Virtual International Tax Conference 2021 bertajuk The New Era of Global Tax Transparency yang diselenggarakan IAI, Rabu (13/10/2021).
Adapun klausul Pilar 2 yang relevan bagi yurisdiksi sumber seperti Indonesia adalah ketentuan subject to tax rule (STTR).
Melalui STTR, yurisdiksi sumber mendapatkan hak pemajakan atas intragroup payment yang mengeksploitasi P3B untuk memindahkan laba dari yurisdiksi sumber menuju yurisdiksi bertarif pajak rendah.
Dengan tarif STTR yang disepakati sebesar 9%, hak pemajakan yang diperoleh yurisdiksi sumber nantinya adalah sebesar selisih antara tarif pajak minimum STTR sebesar 9% dan tarif pajak atas penghasilan di negara lain.
Meski demikian, cakupan dari STTR pada Pilar 2 tergolong sempit. "Banyak sekali pengecualian pada STTR, penghasilan yang tercakup pada STTR hanya intragroup payment," ujar Melani.
Adapun klausul pada konsensus perpajakan internasional yang berpotensi menambah penerimaan bagi Indonesia adalah Pilar 1: Unified Approach.
Dengan adanya Pilar 1, Indonesia selaku yurisdiksi sumber mendapatkan hak pemajakan atas 25% dari residual profit yang diperoleh korporasi multinasional.
Korporasi multinasional yang dimaksud adalah korporasi dengan global turnover di atas EUR20 miliar dan memiliki pendapatan lebih dari EUR1 miliar di yurisdiksi sumber. (sap)