TOKYO, DDTCNews – Pemerintah Jepang harus menunda rencana kenaikan pajak penjualan (sales tax) jika kondisi perekonomian di negara sakura tersebut terus berangsur memburuk. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Kabinet Negara Yoshide Suga.
Suga memperingatkan bahwa kondisi ekonomi saat ini dan beberapa tahun ke depan harus dipertimbangkan sebelum menerapkan kenaikan 2% pada tarif pajak penjualan menjadi 10% pada Oktober 2019 dari tarif yang berlaku sebelumnya sebesar 8%.
“Pemerintah harus mempertimbangkan tingkat lapangan kerja, nilai tukar mata uang dan keadilan ekonomi. Sebab, dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi ke depannya akan kebali turun, seperti yang terjadi setelah melakukan kenaikan pada 2014 silam,” ucapnya dalam konferensi pers, Jumat (6/10).
Sementara itu, lembaga pemeringkat Moody's Investors Service mengatakan rencana kenaikan pajak penjualan di Jepang justru akan memberikan dampak positif bagi ekonomi, apalagi jika Perdana Menteri Shinzo Abe mengalihkan beberapa pendapatan tambahan untuk pendidikan dan kesejahteraan.
“Pemerintah tidak perlu menunggu waktu yang tepat untuk melakukan reformasi pajak. Apalagi harus menunggu hingga Jepang mencapai surplus anggaran. Yang terpenting adalah Pemerintah berkomitmen untuk melakukan reformasi fiskal dalam jangka menengah,” ungkap Christian de Guzman, wakil presiden sovereign rating di Moody's.
Kenaikan pajak penjualan, dilansir dalam tax-news.com, diperkirakan akan menghasilkan sekitar ¥5 triliun atau Rp596,6 triliun pendapatan tambahan bagi negara, namun Abe berencana untuk mengalokasikan sekitar ¥2 triliun untuk pendidikan dan kesejahteraan.
De Guzman mengatakan ketidakpastian mengenai kebijakan fiskal dan ancaman yang ditimbulkan oleh Korea Utara bias menimbulkan dampak negatif bagi Jepang, namun di sisi positif, permintaan ekspor telah mendukung pertumbuhan, sehingga meminimalkan risiko dan membuat Jepang tetap seimbang.