Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.
JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan menyatakan terdapat setidaknya 3 tantangan dalam pengumpulan pajak pada tahun depan.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyebut tantangan pertama ialah perihal basis pajak yang sudah tinggi pada tahun ini. Menurutnya, kinerja penerimaan pajak sejauh ini menunjukkan tren yang baik, tetapi kemungkinan tidak akan terulang pada tahun depan.
"Ada beberapa hal yang tentunya tidak akan terulang lagi pada 2023 sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi DJP," katanya dalam Internasional Tax Conference 2022, Rabu (7/12/2022).
Saat ini, realisasi penerimaan pajak sudah melewati target pada tahun ini. Pada 6 Desember 2022, DJP mencatat realisasi penerimaan pajak sudah mencapai Rp1.580 triliun atau 106,4% dari target yang ditetapkan dalam Perpres No. 98/2022 senilai Rp1.485 triliun.
Yon menjelaskan kinerja penerimaan pajak yang positif tersebut terjadi sejalan dengan pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19. Kemudian, terdapat pula berkah dari kenaikan harga komoditas global yang masih berlanjut.
Selain itu, sambungnya, terdapat faktor implementasi UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) seperti program pengungkapan sukarela (PPS) yang hanya diadakan pada Januari-Juni 2022.
Tantangan kedua pengumpulan pajak 2023, lanjut Yon, ialah proyeksi harga berbagai komoditas global yang termoderasi. Merujuk proyeksi dari berbagai lembaga, penurunan harga akan terjadi pada komoditas energi, mineral, dan perkebunan.
Kemudian tantangan ketiga dalam pengumpulan penerimaan pajak 2023 datang dari isu geopolitik yang serba tidak pasti. Kondisi tersebut utamanya akibat perang Rusia-Ukraina dan naiknya tensi geopolitik China-Taiwan.
Yon menilai kondisi geopolitik yang panas telah menyebabkan sejumlah negara mengalami krisis energi dan pangan sehingga terjadi inflasi tinggi.
Sejumlah negara kemudian meresponsnya dengan menaikkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat menimbulkan volatilitas pasar keuangan global dan arus keluar modal dari negara seperti Indonesia.
Pada saat yang sama, moderasi aktivitas ekonomi global menyebabkan permintaan terhadap produk ekspor andalan Indonesia merosot, terutama tekstil, hingga beberapa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Ekonomi kita tengah menghadapi tantangan yang berat, dan ini akan menjadi persoalan [dalam pengumpulan pajak] pada 2023," ujarnya.
Secara umum, Yon memaparkan kinerja penerimaan pajak telah mengalami pemulihan setelah sempat terkontraksi hingga 19% pada 2020. Dia berharap tren penerimaan pajak yang positif pada tahun ini dapat berlanjut hingga 2023 karena pemerintah telah melakukan beberapa langkah reformasi.
Reformasi tersebut dimulai sejak 2017 yang mencakup 5 agenda, meliputi organisasi, sumber daya manusia, proses bisnis perpajakan, regulasi, serta sistem informasi dan basis data.
Di bidang regulasi contohnya, pemerintah telah menerbitkan UU HPP yang diyakini meningkatkan penerimaan pajak setelah pandemi secara berkelanjutan.
Beberapa poin penting dalam UU HPP di antaranya kenaikan tarif PPN yang disertai fasilitas pembebasan untuk barang kebutuhan pokok, ketentuan batas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta pada wajib pajak orang pribadi UMKM, tarif PPh badan yang dijaga tetap 22%, serta pengenaan pajak karbon.
"Kami melakukan reformasi di banyak aspek yang sangat penting untuk meningkatkan dan menjaga keberlanjutan penerimaan di masa depan," tutur Yon. (rig)