Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajak para investor untuk membangun lebih banyak proyek yang ramah lingkungan di Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan sektor swasta dapat berperan aktif dalam upaya pengendalian emisi karbon dengan membangun proyek yang ramah lingkungan. Pemerintah, sambungnya, juga telah menyediakan berbagai insentif yang dapat dapat dimanfaatkan.
"Kementerian Keuangan menggunakan instrumen perpajakan untuk bisa meningkatkan peranan swasta dalam membangun berbagai proyek-proyek yang sifatnya climate change friendly," katanya dalam sebuah webinar, Jumat (11/6/2021).
Sri Mulyani mengatakan pemerintah mengarahkan kebijakan untuk mendukung pengembangan energi baru terbarukan melalui pemberian stimulus. Menurutnya, stimulus serupa juga akan diberikan kepada bidang usaha yang ramah lingkungan.
Beberapa stimulus yang telah tersedia yakni tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk impor, pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) ditanggung pemerintah (DTP), serta pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk mendukung pengembangan proyek tenaga listrik bertenaga panas bumi dan energi terbarukan lainnya.
Sri Mulyani menyebut saat ini dunia tengah dihadapkan pada dua bencana sekaligus, yakni pandemi Covid-19 dan risiko perubahan iklim. Semua negara juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk menangani persoalan tersebut karena dampak perubahan iklim tidak mengenal batas negara.
Dia kemudian mengutip data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Programme/UNEP) tentang suhu bumi saat ini yang meningkat 1,1 derajat celcius dibandingkan dengan kondisi pra-industrialisasi dan meningkat 3,2 derajat celcius pada 2020.
Di Indonesia, dampak suhu yang lebih hangat itu misalnya terlihat dari meningkatnya permukaan air laut karena es di kawasan kutub terus mencair. "Konsekuensinya luar biasa, yaitu di berbagai belahan dunia kita melihat fenomena yang katastropikal," ujarnya.
Melalui Kesepakatan Paris, Sri Mulyani menyebut pemerintah berkomitmen mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Beberapa langkah yang dilakukan misalnya mengimplementasikan kebijakan penandaan anggaran perubahan iklim (climate budget tagging/CBT) dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Sri Mulyani menambahkan upaya pengendalian perubahan iklim juga membutuhkan biaya tinggi. Pemerintah membutuhkan biaya senilai US$247,2 miliar atau RpRp3.461 triliun untuk menjalankan komitmen penurunan emisi hingga 2030. Artinya, setiap tahun harus ada alokasi setidaknya Rp266,2 triliun.
Sejak 2016 hingga 2019, pemerintah baru mengalokasikan dana untuk perubahan iklim rata-rata sekitar Rp86,7 triliun per tahun dalam APBN. Oleh karena itu, lanjutnya, dibutuhkan dukungan dari sektor swasta dan masyarakat untuk mencapai komitmen penanganan perubahan iklim.
"Memang tidak selalu harus gunakan APBN. Harus gotong-royong bersama," imbuhnya. (kaw)