TAJUK PAJAK

Tentang PMK 213

Redaksi DDTCNews
Senin, 23 Januari 2017 | 16.01 WIB
Tentang PMK 213

Ilustrasi. (360cgroup.com)

SALAH satu skema yang kerap dipergunakan perusahaan sebagai modus untuk melakukan penghindaran pajak dan penggelapan pajak adalah manipulasi transfer pricing. Praktik ini jelas sangat merugikan negara karena nyata-nyata menggerus basis penerimaan pajak penghasilan badan.

Untuk mencegah praktik lawas ini, pemerintah di berbagai negara mewajibkan perusahaan multinasional mendokumentasikan kewajaran transaksi yang dilakukan kepada afiliasinya. World Bank mencatat, saat ini, sudah lebih dari 70 negara yang memiliki aturan transfer pricing documentation (TP Doc) itu.

Sayangnya, praktik manipulasi transfer pricing masih marak. Penyebabnya antara lain karena TP Doc tidak memiliki standar global tentang format dan isi. TP Doc juga hanya melihat kewajaran dari transaksi afiliasi, tapi tidak dari sisi kontribusi serta substansi ekonomi. Akibatnya, praktik pengalihan laba sulit dideteksi.

Tentu ini menjadi perhatian internasional. Akhirnya, pada 2013, OECD/ G20 menyepakati 15 Rencana Aksi Anti-BEPS (Base Erosion and Profit Shifting/ BEPS). Format baru TP Doc ini ada dalam Rencana Aksi ke-13, yang laporan finalnya dirilis pada Oktober 2015.

Format baru tersebut mencakup tiga hal. Pertama, master file yang mencakup informasi tentang struktur kepemilikan, penjelasan singkat mengenai fungsi, aset dan risiko yang diemban masing-masing entitas dalam grup, hingga kepemilikan harta tidak berwujud.

Kedua, local file yang menjelaskan khusus tentang kewajaran transaksi afiliasi yang dilakukan wajib pajak. Terakhir, country by country reporting (CbCR) yang berupa paparan informasi keuangan, pembayaran pajak hingga jumlah karyawan di tiap entitas dalam grup.

Bagi otoritas pajak, format baru ini menyediakan lebih banyak informasi yang memungkinkan penilaian risiko adanya manipulasi transfer pricing. Bagi wajib pajak, format baru ini memberi kesempatan untuk menjelaskan kewajaran harga, skema transaksi, hingga struktur bisnisnya secara lebih lengkap.

Di Indonesia, format baru tersebut diadopsi dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 213/2016 yang berlaku untuk tahun pajak 2017. Pertanyaannya, apakah format baru dokumentasi transfer pricing ini efektif mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional?

Tentu saja, peluang untuk mencegah praktik manipulasi transfer pricing menjadi lebih kuat dan terbuka. Akan tetapi, lebih bagus apabila kewajiban dokumentasi transfer pricing juga diperkuat dengan kewajiban pelaporan perencanaan pajak yang agresif atau sering disebut dengan Mandatory Disclosure Rule (MDR).

MDR adalah Rencana Aksi ke-12 dari Proyek Anti-BEPS yang juga berdiri di atas elemen transparansi. Aturan ini memaksa baik wajib pajak maupun tax promotor untuk melaporkan skema perencanaan pajak yang agresif, aturan pajak yang dipergunakan, hingga nilai pajak yang bisa dihemat.

Sedikit berbeda dengan TP Doc, MDR lebih menitikberatkan pada sisi penawaran atau penyebab maraknya aktivitas tersebut. Pertama, penawaran skema pajak yang agresif diharapkan menurun dengan adanya kewajiban pelaporan oleh tax promotor karena adanya efek deterrence.

Kedua, perencanaan pajak yang agresif sesungguhnya berasal dari kelemahan atau celah hukum pajak. MDR jelas memungkinkan pemerintah untuk bisa cepat merevisi regulasi yang biasanya dipergunakan dalam perencanaan pajak agresif. Akankah pemerintah juga menerbitkan MDR ini? Kita tunggu.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.