BERITA PAJAK HARI INI

Ungkap Ketidakbenaran Perbuatan di Pemeriksaan Bukper? Ini Kata DJP

Redaksi DDTCNews
Senin, 12 Desember 2022 | 08.00 WIB
Ungkap Ketidakbenaran Perbuatan di Pemeriksaan Bukper? Ini Kata DJP

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) berencana menyediakan saluran elektronik bagi wajib pajak terkait dengan penerapan asas ultimum remedium pada tahap pemeriksaan bukti permulaan. Rencana tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (12/12/2022).

Direktur Penegakan Hukum DJP Eka Sila Kusna Jaya mengatakan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan pada tahap pemeriksaan bukti permulaan (bukper) pada saat ini masih harus disampaikan secara tertulis.

“Sebelum coretax diimplementasikan maka [penyampaian pengungkapan ketidakbenaran perbuatan] masih menggunakan saluran yang ada saat ini, baik secara langsung maupun lewat pos," katanya.

PMK 177/2022 sudah memuat ketentuan penyampaian secara elektronik. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (6) PMK 177/2022, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dibuat secara tertulis disampaikan secara elektronik melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak.

Namun, jika penyampaian secara elektronik itu tidak dapat dilakukan, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan disampaikan secara langsung kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar atau tempat objek pajak diadministrasikan, serta ditembuskan kepada kepala unit pelaksana penegakan hukum.

Sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemeriksaan bukper dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana pada bidang perpajakan.

Berdasarkan pada Pasal 8 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukper, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya.

Ketidakbenaran perbuatan itu adalah pertama, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Kedua, menyampaikan SPT dengan isi tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Perbuatan itu sesuai dengan Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan d UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) PMK 177/2022, pemeriksaan bukper tidak ditindaklanjuti penyidikan jika wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan melalui pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administratif.

Selain mengenai pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan pada tahap pemeriksaan bukper, ada pula ulasan terkait dengan permintaan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kepada para gubernur agar memberikan insentif pajak kendaraan bermotor (PKB) kendaraan listrik.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Pemulihan Kerugian pada Pendapatan Negara

Wajib Pajak yang memanfaatkan penerapan asas ultimum remedium pada tahap pemeriksaan bukper harus menyampaikan pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya secara tertulis dan menandatanganinya serta tidak dapat dikuasakan.

Wajib pajak juga harus melampirkan beberapa hal. Pertama, penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang. Kedua, Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang.

Ketiga, SSP atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP sebagai bukti pelunasan sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3a) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.

“Pembayaran jumlah pajak yang terutang …  dan pembayaran sanksi administratif berupa denda … merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara,” bunyi penggalan Pasal 20 ayat (5) PMK 177/2022. (DDTCNews)

Pembayaran atas Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan

Sesuai dengan Pasal 20 ayat (8) PMK 177/2022, pengungkapan ketidakbenaran perbuatan telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya apabila jumlah pembayaran pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sama dengan atau lebih besar dari jumlah pajak yang terutang menurut hasil pemeriksaan bukper.

“Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya … diberitahukan kepada wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka,” bunyi penggalan Pasal 20 ayat (8) PMK 177/2022. (DDTCNews)

Waktu Pemeriksaan Bukper

Melalui PMK 177/2022, otoritas mengatur pemeriksaan bukper hanya dapat dilaksanakan dalam jangka waktu maksimal 24 bulan, lebih pendek dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya yang mencapai 36 bulan.

Sesuai dengan Pasal 6 PMK 177/2022, pemeriksaan bukper secara terbuka dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan terhitung sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan.

Kemudian, pemeriksaan bukper tertutup dilakukan paling lama 12 bulan terhitung sejak tanggal surat perintah pemeriksaan bukper diterima oleh pemeriksa. Apabila pemeriksaan bukper tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, pemeriksa dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu maksimal 12 bulan. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)

PKB Kendaraan Listrik

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pajak ternyata menjadi salah satu faktor yang menentukan daya saing industri kendaraan listrik. Dalam hal ini, Indonesia kalah bersaing dengan Thailand yang telah menerapkan tarif pajak kendaraan bermotor 0% untuk kendaraan listrik.

"Saya mengimbau di beberapa daerah, mungkin Bali, Jakarta, kalau boleh elektrifikasi ini [tarif pajak kendaraan bermotor] dinolkan sehingga kita apple to apple dengan Thailand," katanya.

Airlangga menyebut kebijakan perpajakan dari pemerintah pusat sudah cukup bersaing dibandingkan dengan negara lain, terutama Thailand. Misal, dari sisi bea masuk dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). (DDTCNews)

Desain Pita Cukai

Melalui PMK 52/2020, pemerintah mengatur pita cukai sebagai dokumen sekuriti, sekaligus tanda pelunasan cukai. Pita cukai memiliki bentuk fisik, spesifikasi, dan desain tertentu. Selama ini, pemerintah menunjuk Perum Peruri untuk mencetak dokumen sekuriti negara, termasuk pita cukai.

Peruri menjelaskan terdapat 2 jenis pita cukai yang dikelola oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), yakni pita cukai hasil tembakau (HT) dan pita cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA).

Bentuk fisik pita cukai berupa kertas yang memiliki sifat atau unsur sekuriti paling sedikit berupa kertas sekuriti, hologram sekuriti, dan cetakan sekuriti. Pita cukai HT disediakan dalam 3 seri, yaitu seri I, II, dan III. Pada MMEA, hanya disediakan untuk 1 seri. (DDTCNews) (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.