LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Menanti Magis Pajak dalam Pemerataan Ekonomi

Redaksi DDTCNews | Kamis, 12 Agustus 2021 | 15:00 WIB
Menanti Magis Pajak dalam Pemerataan Ekonomi

Teddy Ferdian,
Medan, Sumatra Utara

KETIMPANGAN ekonomi menjadi isu yang tidak berkesudahan di Tanah Air. Per September 2020, koefisien gini atau indeks gini di Indonesia masih berada pada level 0,385.

Koefisien gini merupakan indeks untuk mengukur ketimpangan yang terjadi di suatu wilayah. Jika indeks makin mengarah ke angka 1, ketimpangan di wilayah tersebut makin besar. Posisi indeks pada level 0,385 menunjukkan masih adanya ketimpangan yang terjadi di wilayah Indonesia.

Hal yang menarik adalah produk domestik bruto (PDB) Indonesia cenderung mengalami peningkatan dalam kurun 20 tahun terakhir sebelum masa pandemi Covid-19.

Pada periode 2000 hingga 2019, PDB per kapita Indonesia mengalami peningkatan rata-rata di atas 4% setiap tahun. Angka ini hanya kalah dari China (9%) dan India (5,5%). Pertumbuhan PDB per kapita mulai menurun sejak pandemi Covid-19 pada 2020.

Ironis memang jika melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dibarengi dengan pemerataan ekonomi. Ketimpangan ekonomi masih terjadi. Dalam laporannya pada 2015, World Bank menyebut pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya dinikmati 20% kelompok terkaya.

Kelompok terkaya itu mendominasi konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Kelompok ini sebenarnya cukup penting dalam meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Namun, dampak negatifnya adalah keberadaan kelompok ini dapat memperlebar ketimpangan.

Oleh karena itulah campur tangan pemerintah diperlukan untuk membuka lapangan pekerjaan, memberikan subsidi, dan memperluas kesempatan bagi masyarakat dalam mendapatkan kehidupan yang layak.

Peran pajak

KETIMPANGAN ekonomi di Indonesia secara umum disebabkan beberapa faktor, yaitu ketimpangan peluang, ketimpangan pasar tenaga kerja, konsentrasi kekayaan, dan ketimpangan dalam menghadapi guncangan (Bank Dunia, 2015).

Faktor-faktor tersebut kerap menghantui sehingga Indonesia tidak bisa berbuat banyak untuk pemerataan ekonomi, walaupun dengan kondisi meningkatknya PDB. Salah satu instrumen negara yang sebenarnya dapat memberi andil dalam pemerataan ekonomi adalah pajak.

Pertama, ketimpangan peluang di Indonesia menyebabkan anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki peluang untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Untuk ini, negara menyiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp550 triliun atau 20% dari total APBN tahun 2021.

Peserta didik dari keluarga miskin menjadi prioritas untuk mendapatkan subsidi biaya melalui program Indonesia Pintar. Subsidi dan insentif untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga terus diberikan.

Untuk keberhasilan program ini, negara perlu mengumpulkan penerimaan. Faktanya, lebih dari 80% penerimaan negara bersumber dari pajak. Di sinilah peran pajak dalam mendukung program pemerintah untuk menyukseskan pemerataan ekonomi. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi pajak redistribusi pendapatan.

Kedua, ketimpangan pasar tenaga kerja menyebabkan pekerja dengan keterbatasan keterampilan tidak memiliki peluang mengembangkan keterampilan untuk memperbaiki tingkat penghasilan. Peluang itu seolah hanya berlaku bagi mereka yang memiliki keterampilan tinggi.

Hal tersebut coba dijawab negara dengan menyediakan program pelatihan keterampilan dan kewirausahaan, khususnya untuk warga kurang mampu. Pembangunan infrastruktur di daerah terus dilakukan untuk membuka kesempatan kerja dan menipiskan kesenjangan kota besar dan daerah.

Kembali, untuk membiayai program tersebut, negara memerlukan penerimaan pajak. Dengan makin optimalnya pengumpulan pajak, makin besar pula peluang menuju pemerataan ekonomi.

Ketiga, konsentrasi kekayaan menyebabkan ketimpangan kekayaan yang hanya dinikmati kalangan tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang didominasi 20% penduduk makin memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.

Menyikapi hal tersebut, pajak berupaya mendorong pengembangan UMKM secara berkesinambungan melalui program Business Development Services. Kemudian, penerapan tarif progresif pajak dilakukan. Artinya, makin tinggi penghasilan, makin besar tarif pajak sebagai dasar penghitungan pajak.

Selain itu, dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas kelompok sembilan bahan pokok (sembako) dan jasa pendidikan mengemuka. Dalam rancangan ini, PPN akan dikenakan untuk konsumsi sembako premium dan jasa pendidikan premium (berbiaya mahal).

Keempat, ketimpangan dalam menghadapi guncangan menyebabkan masyarakat miskin rentan terkena dampak dari kondisi ketidakstabilan. Pada masa pandemi ini, masyarakat berpenghasilan rendah paling terdampak. Bantuan sosial disiapkan pemerintah. Namun, tantangan besar adalah memastikan bantuan dapat diterima warga negara yang memerlukan.

Cara yang dapat dilakukan adalah membuka kesempatan kerja tidak hanya di kota-kota besar. Pemerintah dapat mencoba memindahkan tujuan investasi untuk membuka usaha di daerah. Upaya ini sebenarnya sudah menjadi wacana ketika rencana pemindahan ibu kota negara digaungkan. Namun, pemindahan ibu kota tidak menjadi jaminan akan ada banyak investasi di daerah.

Harus ada langkah konkret yang dapat ‘memaksa’ pengusaha untuk berinvestasi di daerah, misalnya dengan penerapan tarif pajak lebih tinggi untuk usaha di kota-kota besar. Distribusi usaha ke daerah artinya lapangan kerja meningkat dan pertumbuhan ekonomi di daerah naik.

Harapannya, tingkat penghasilan masyarakat juga makin meningkat dengan lebih meratanya distribusi lapangan usaha di kota besar dan di daerah.

Magis pajak layak dinanti. Namun, kesungguhan seluruh elemen negeri untuk membenahi negara inilah yang sebenarnya diuji. Bantuan, insentif, dan subsidi harus tepat sasaran. Pelaksanaannya harus dengan akuntabilitas tinggi serta pengawasan ketat. Pemerataan kesempatan kerja dan perbaikan pendidikan harus terus dilakukan di seluruh penjuru negeri.

Dengan begitu, tidak ada lagi warga yang meneriakkan protes ketimpangan. Semoga Indonesia bisa menunjukkan tajinya kepada dunia sebagai contoh keberhasilan pemerataan ekonomi melalui optimalisasi penerimaan dari sektor pajak.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 20 April 2024 | 16:45 WIB KEPATUHAN PAJAK

Periode SPT Badan Sisa Sepekan, Perusahaan Belum Operasi Tetap Lapor?

Sabtu, 20 April 2024 | 16:30 WIB KEANGGOTAAN FATF

Di FATF, Sri Mulyani Tegaskan Komitmen RI Perangi Kejahatan Keuangan

Sabtu, 20 April 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN BEA CUKAI

Apa Beda Segel dan Tanda Pengaman Bea Cukai? Simak Penjelasannya

Sabtu, 20 April 2024 | 12:00 WIB KEPATUHAN PAJAK

Minta Perpanjangan Lapor SPT Tahunan? Ingat Ini Agar Tak Kena Sanksi

BERITA PILIHAN