Kristian A. Prasetyo,
AWAL tahun ini, Ditjen Pajak (DJP) kembali mewacanakan perlunya akses terhadap data rekening nasabah bank. Memang, selama ini DJP sudah mempunyai akses tersebut, namun terbatas untuk pemeriksaan dan penyidikan pajak. Akses yang diinginkan saat ini lebih luas untuk menggali potensi penerimaan pajak.
Apabila hal itu dilakukan, diharapkan kinerja penerimaan pajak, terutama dari individu nonkaryawan, dapat meningkat, sehingga nantinya tax ratio juga akan meningkat. Keinginan DJP ini juga sejalan dengan langkah OECD mengeluarkan dokumen pertukaran informasi otomatis
Namun, para praktisi perbankan juga kalangan lainnya masih keberatan. Alasannya antara lain karena khawatir kebijakan tersebut akan memicu pengalihan dana nasabah ke ke negara lain. Pertanyaannya, bagaimana respons kebijakan terbaik untuk mengakomodasi kedua kepentingan tersebut?
Sistem Pajak
Indonesia menganut sistem perpajakan berbasis self assessment. Maksudnya, Wajib Pajak (WP) diberikan keleluasaan menghitung sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Hitung-hitungan pajak ini, mulai dari dasar perhitungan sampai dengan kuitansi pembayaran pajak, kemudian dilaporkan kepada DJP.
Dengan sistem tersebut, pada dasarnya DJP harus percaya atas apapun yang disampaikan oleh WP. Semua yang disampaikan WP harus dianggap benar sampai DJP bisa membuktikan sebaliknya melalui proses pemeriksaan, yang dilakukan terutama terhadap WP berisiko tinggi.
Jadi DJP perlu melakukan pengujian kebenaran laporan yang disampaikan WP dengan menggunakan data yang diperoleh dari pihak lain. Contohnya, seorang pelau usaha menyampaikan laporan SPT Tahunan bahwa selama 2013 tokonya mampu menjual barang senilai Rp1 miliar.
Dalam sistem self assessment, DJP harus menguji kebenaran laporan ini dengan data lain, misalnya membandingkannya dengan laporan SPT Masa PPN pada periode yang sama. Apabila perbedaannya terlalu besar, maka DJP seharusnya mulai menelisik lebih mendalam.
Apa yang terjadi jika DJP tak mempunyai data untuk keperluan itu? Jelas ini berupakan tanda keruntuhan sistem perpajakan Indonesia. Studi ekonometrika klasik Allingham dan Sandmo menyatakan setiap WP akan selalu menggunakan pertimbangan cost dan benefit ketika melakukan pembayaran pajak.
Selama cost untuk tidak patuh lebih rendah daripada benefit yang dinikmati dari ketidakpatuhan, mereka pasti tidak patuh. Tugas DJP adalah menjaga supaya ketidakpatuhan WP berada pada tingkat yang wajar. Modal dasar yang harus dipunyai untuk hal ini adalah data pihak ketiga.
Dalam konteks ini, maka sebenarnya keinginan DJP supaya bank mau membuka data rekening nasabahnya dalam rangka penggalian potensi, tidak hanya terbatas dalam kegiatan pemeriksaan-penyidikan semata, barangkali bisa dipahami.
Dalam konteks ini, OECD malah sudah mengeluarkan standar pertukaran informasi setebal 44 halaman yang berjudul Standard for Automatic Exchange of Financial Account Information. Banyak kalangan menganggap standar tersebut nantinya akan mengakhiri praktik kerahasiaan bank (bank secrecy).
Oleh karena itu, setelah OECD mengeluarkan standar pertukaran data secara seketika, DJP langsung menyambutnya dengan suka cita. Bahkan, pimpinan Ditjen Pajak dalam suatu kesempatan menyatakan jika dibandingkan dengan negara lain, Malaysia misalnya, Indonesia relatif tertinggal.
DJP menginginkan supaya data nasabah bank dapat dibuka untuk kepentingan penggalian potensi pajak. Apalagi ditengarai terdapat 180 ribuan rekening perorangan yang saldonya masing-masing melebihi Rp 2 miliar. Data saldo dan pemilik rekening inilah yang ingin diperoleh DJP guna mendongkrak penerimaan.
Apalagi, sudah ada 35 negara, seperti Argentina, Australia, Liechtenstein, dan lainnya, yang memberikan kewenangan otoritas perpajakan untuk mengakses data nasabah bank. (DDTC, 2014). Namun, bagaimana dengan pihak bank? Apakah mereka bersedia memenuhi permintaan ini?
Bisnis Kepercayaan
Bank memperoleh uang dari "menjajakan" kepercayaan. Masyarakat datang ke bank menitipkan uang, dan sebagai buktinya, bank memberikan bilyet, cek, atau buku tabungan. Dokumen ini penting karena dengan membawanya ke bank, maka bank bisa memberikan uang senilai jumlah yang tertera dalam dokumen itu.
Masyarakat mau memberikan uang ke bank karena percaya bank mempu menjaga hartanya itu dengan sebaik-baiknya. Ini berarti, masyarakat percaya bank akan menjaga jangan sampai orang lain tahu bahwa seseorang mempunyai simpanan dalam jumlah tertentu di bank tersebut.
Dengan kata lain, jika bank tidak dapat dipercaya lagi, maka habis sudah barang jualannya. Masyarakat akan segera menarik uangnya. Dampaknya tentu gawat. Dana yang disimpan di bank umumnya dana jangka pendek, sedangkan bank meminjamkannya dalam jangka panjang.
Itu berarti, apabila semua nasabah menarik seluruh uangnya di bank dalam waktu yang bersamaan, bank akan kolaps. Inilah yang terjadi pada 1998. Karena itu, para bankir akan melakukan segala upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat pada bank yang dipimpinnya.
Apalagi, unsur kerahasiaan bank ini diatur dalam undang-undang. Pasal 1 angka 28 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mendefinisikan rahasia perbankan sebagai "…segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya."
Artinya, yang harus dirahasiakan bank itu adalah data orang yang menyimpan uang di bank itu dan jumlah uang yang disimpannya. Dalam konteks inilah nampaknya kemungkinan keengganan bank untuk berbagi data nasabah menjadi masuk akal.
Namun demikian, untuk kepentingan perpajakan dan atas perintah tertulis pimpinan Bank Indonesia (BI) berdasarkan surat permintaan bertanda tangan basah dari Menkeu, bank bisa memberikan keterangan-keterangan kepada petugas pajak. Hal ini diatur pada Pasal 41 ayat (1) UU No 10 Tahun 1998.
Peraturan BI No. 2/19/PBI/2000 menyatakan permohonan itu harus mencantumkan: 1) Nama pejabat bank; 2) Nama nasabah (WP) yang diperiksa; 3) Nama kantor bank tempat WP menyimpan asetnya; 4) Jenis keterangan yang diminta; dan 5) Alasan mengapa keterangan yang diminta itu diperlukan.
Bagi DJP, tentu saja peraturan ini menyulitkan. Bagaimana menuliskan nama kantor bank tempat WP menyimpan aset ke dalam formulir permohonan informasi tersebut, sementara justru informasi itulah yang tengah dicari DJP untuk dijadikan sebagai basis data pembanding harta yang dilaporkan WP?
Dengan persyaratan yang rigit itulah antara lain, termasuk tidak adanya kepastian waktu dan kewajiban bagi Gubernur BI untuk memenuhi alias boleh menolak permintaan Menkeu tersebut, pembukaan data nasabah bank untuk kepentingan pajak acapkali menemukan hambatan.
Harus diakui, spektrum permasalahan ini kompleks. Kekhawatiran pengalihan dana apabila data nasabah bank dibuka tak dapat diingkari. Dalam situasi ini, diperlukan konsensus yang lebih kuat antara otoritas fiskal, moneter dan perbankan untuk mengakomodasi kebutuhan DJP dan kepentingan perbankan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.