Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menyatakan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dilakukan tanpa ada upaya paksa. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (20/2/2024).
Direktur Penegakan Hukum DJP Eka Sila Kusna Jaya mengatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXI/2023 sudah sejalan dengan praktik selama ini. Pemeriksaan bukper, sambungnya, untuk mengklarifikasi ada atau tidaknya peristiwa pidana di bidang perpajakan.
"DJP melakukan kegiatan bukper sebelum dilakukan penyidikan lebih untuk mengklarifikasi tentang ada atau tidak peristiwa pidana di bidang perpajakan. DJP akan tetap melakukan kegiatan pemeriksaan bukper yang memang tanpa upaya paksa,” ujar Eka.
Eka mengatakan dengan pemeriksaan bukper, wajib pajak mendapat kesempatan untuk memanfaatkan hak pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU KUP. Hal ini merupakan implementasi dari asas ultimum remedium.
Seperti diketahui, dalam Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023 dinyatakan ketentuan pemeriksaan bukper pada Pasal 43A ayat (1) dan (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bersifat inkonstitusional bersyarat.
Frasa 'pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan' dalam Pasal 43A ayat (1) UU KUP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak terdapat tindakan upaya paksa'.
Dengan demikian, norma Pasal 43A ayat (1) UU KUP selengkapnya berbunyi 'Dirjen pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukper sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sepanjang tidak terdapat tindakan upaya paksa'.
Pasal 43A ayat (4) UU KUP juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tidak melanggar hak asasi wajib pajak'.
Adapun norma Pasal 43A ayat (4) UU KUP selengkapnya berbunyi 'Tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan, sepanjang tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan upaya paksa dan melanggar hak asasi wajib pajak'.
Selain mengenai pemeriksaan bukper, ada pula ulasan terkait dengan pembuatan bukti pemotongan (bupot). Kemudian, ada bahasan tentang imbauan dari DJP agar wajib pajak waspada dengan praktik-praktik penipuan yang mengatasnamakan otoritas.
Sebagai tindak lanjut atas terbitnya Putusan MK Nomor 83/PUU-XXI/2023, Direktur Penegakan Hukum DJP Eka Sila Kusna Jaya mengatakan otoritas akan menginventarisasi norma dan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan bukper yang berpotensi ditafsirkan sebagai upaya paksa.
Berdasarkan pada inventarisasi tersebut, sambung Eka, norma-norma yang selama ini ditafsirkan sebagai upaya paksa akan disempurnakan agar tidak terjadi salah tafsir pada kemudian hari. (DDTCNews)
Ketika memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sudah terintegrasi dengan sistem DJP pada aplikasi e-bupot unifikasi, tarif lebih tinggi tidak berlaku lagi. Informasi mengenai penggunaan NPWP pada sistem DJP telah disampaikan melalui PENG-6/PJ.09/2024.
Contact center DJP, Kring Pajak, menjelaskan hal tersebut saat merespons pertanyaan warganet di media sosial X. Warganet itu bertanya tentang pengenaan tarif PPh Pasal 23 yang ternyata tetap normal sebesar 2% saat dia membuat bupot unifikasi untuk vendor non-NPWP dengan NIK.
“Saat ini penerapan tarif PPh Pasal 23 pada e-bupot unifikasi yang memilih identitas NIK (untuk orang pribadi) adalah tetap menjadi tarif normal (2% atau 15% sesuai jenis objek penghasilan), dalam hal nomor NIK telah terintegrasi dengan sistem administrasi DJP,” tulis Kring Pajak. (DDTCNews)
Pegawai atau penerima penghasilan yang mendapatkan bupot PPh Pasal 21 bulanan hanya perlu melaporkannya dalam SPT Tahunan. Pelaporan tiap masa pajak melalui aplikasi e-bupot 21/26 hanya dilakukan oleh pemotong PPh atau pemberi kerja.
“Pelaporan tiap masa pajak (menggunakan e-bupot PPh Pasal 21/26) hanya dilakukan oleh pemotong/pemberi kerja. Bagi karyawan, atas penghasilan dan bukti potong yang diterima silakan dilaporkan di SPT Tahunan orang pribadi,” tulis Kring Pajak. (DDTCNews)
Bupot PPh Pasal 21 bulanan tidak diterbitkan untuk bulan (masa pajak) saat pegawai tetap berhenti bekerja atau resign. Pasalnya, bupot PPh Pasal 21 bulanan bagi pegawai tetap atau pensiunan dibuat atas penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk setiap masa pajak selain masa pajak terakhir.
“Masa pajak terakhir adalah masa Desember, masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja, atau masa pajak tertentu di mana pensiunan berhenti menerima uang terkait pensiun,” tulis Kring Pajak saat merespons pertanyaan warganet di X.
Dengan demikian, saat pegawai tetap berhenti bekerja tidak perlu dibuatkan bukti potong PPh Pasal 21 bulanan– (formulir 1721-VIII) yang sesuai ketentuan diberikan kepada penerima penghasilan paling lama 1 bulan setelah masa pajak berakhir.
“Silakan … membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap/pensiunan yang menerima uang terkait pensiun secara berkala (formulir 1721-A1) untuk masa pajak terakhir,” imbuh Kring Pajak. (DDTCNews)
Wajib pajak diimbau untuk terus mewaspadai email atau pemberitahuan lain yang mengatasnamakan DJP.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan DJP berencana memberikan email imbauan perihal pelaporan SPT Tahunan 2023. Untuk itu, wajib pajak diimbau mewaspadai penipuan yang mengatasnamakan otoritas seiring dengan momentum tersebut.
"Kami sampaikan kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap email ataupun pemberitahuan lain yang mengatasnamakan Direktorat Jenderal Pajak," katanya.
Dwi menuturkan DJP akan memberikan email blast kepada lebih dari 20 juta wajib pajak, baik wajib pajak orang pribadi maupun badan. Melalui email tersebut, DJP mengingatkan wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan 2023. (DDTCNews) (kaw)