Senior Manager of International Tax DDTC Yusuf W. Ngantung sebagai narasumber TST FEB UI, Rabu (7/6). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Ketentuan baru dokumentasi transfer pricing (TP doc) di Indonesia kini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No.213/PMK.03/2016, di mana TP Doc dibuat ke dalam tiga bentuk yaitu master file, local file, dan country-by-country reporting (CbCR).
Senior Manager of International Tax DDTC Yusuf W. Ngantung mengatakan PMK 213/2016 tersebut bertujuan untuk mengatasi praktik transfer pricing yang masih menjadi persoalan penting di kancah perpajakan internasional.
Hal itu diungkapkannya dalam rangkaian acara The 18th Tax Training & Seminar (TST) yang diselenggarakan Studi Profesionalisme Akuntan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (SPA FEB UI) di Grand Mercure Jakarta Harmoni, Rabu (7/6).
“PMK 213 terdiri atas 3 skema yang meliputi master file, local file, dan CbCR. Master file sendiri berisi tentang informasi penting dan berbagai kebijakan transfer pricing yang dilakukan perusahaan,” ujarnya sebagai narasumber.
Yusuf menjelaskan secara akumulasi pendapatan (revenue) perusahaan per 1 tahun pajak bisa mengumpulkan dana sebesar Rp50 juta. Namun akumulasi atas transaksi afiliasi dalam 1 tahun pajak bisa mencapai Rp20 miliar. Maka dari itu, katanya, master maupun local file sangat dibutuhkan untuk menunjang hal tersebut.
Sementara itu, local file terdisi atas sejumlah informasi wajib pajak yang secara spesifik menjelaskan mengenai bisnis, finansial, dan transaksi afiliasi wajib pajak terkait. Bahkan menurutnya local file juga mencakup analisis transfer pricing atas transaksi afiliasi.
“Informasi yang harus tertera dalam local file yaitu identitas dan aktivitas bisnis lokal entitas, informasi atas transaksi afiliasi, dan transaksi independen. Lalu informasi finansial, dan aspek non finansial yang mengatur nilai atau besarnya profit juga harus ada dalam local file,” tuturnya.
Yusuf menjelaskan CbCR berisi mengenai nilai pendapatan (revenue), profit, pajak yang dibayarkan, karyawan atau pegawai, serta aset yang dimiliki. Namun, CbCR dibutuhkan jika parent entity memperoleh konsolidasi pendapatan (consolidated revenue) lebih besar dari Rp11 triliun. (Amu)