Poin-poin kebijakan perpajakan yang didorong oleh Civil-20.
Â
JAKARTA, DDTCNews - Taxation & Sustainable Finance Working Group (TSFWG) Civil-20 mengusulkan beragam kebijakan pajak yang dipandang perlu untuk mendukung pemulihan ekonomi secara inklusif serta memperbaiki sistem perpajakan global.
Sherpa C-20 Ah Maftuchan mengatakan pihaknya mengusulkan pemberlakuan tarif pajak korporasi minimum global yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tarif yang telah disepakati dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
"G-20 sudah menyepakati adanya tarif minimum untuk korporasi sebesar 15% dalam Presidensi Italia tahun lalu, tapi kami C-20 meminta agar tarifnya sebesar 21% sampai 25%," ujar Maftuchan dalam Pre C-20 Summit TSFWG yang digelar oleh TSFWG C-20 dan Tax Centre FIA Universitas Indonesia (UI), Kamis (22/9/2022).
C-20 juga mendorong penurunan threshold pemberlakuan pajak minimum global dari yang saat ini senilai EUR750 juta agar makin banyak perusahaan multinasional yang tercakup dalam Pilar 2. Perusahaan juga didorong untuk memublikasikan country by country reporting (CbCR) kepada publik guna mendukung agenda transparansi pajak.
Mengenai Pilar 1: Unified Approach, Maftuchan mengatakan C-20 juga mendorong pemberlakuan Pilar 1 yang akan menjadi landasan dari pengalokasian hak pemajakan dari negara domisili menuju negara berkembang.
Implementasi Pilar 1 akan membantu negara-negara berkembang untuk memajaki perusahaan multinasional, khususnya perusahaan digital yang tidak memiliki kehadiran fisik di wilayah negara berkembang tersebut.
C-20 juga mendorong adanya penurunan threshold pemberlakuan Pilar 1 dari yang saat ini senilai EUR20 miliar. Penurunan threshold diperlukan agar makin banyak perusahaan multinasional yang tercakup Pilar 1 dan makin banyak negara pasar yang mendapatkan tambahan penerimaan berkat instrumen ini.
"Tema ini masih jauh dari conclusion. Pilar 1 dan Pilar 2 yang digotong oleh OECD atas request dari G-20 juga masih going nowhere," ujar Maftuchan.
Menanggapi masukan dari C-20, akademisi dari FIA UI Ning Rahayu berpandangan tarif pajak minimum Pilar 2 sebaiknya tidak ditingkatkan menjadi 25%. Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang lebih banyak menerima inbound investment akan dirugikan bila tarif pajak minimum global ditingkatkan dari 15% menjadi 25% seperti usulan C-20.
Kenaikan tarif pajak minimum global justru berpotensi menguntungkan negara domisili yang notabene adalah negara-negara maju. "Untuk saat ini, menaikkan ke 25% justru negara Indonesia sebagai negara berkembang akan rugi," ujar Ning.
Mengenai Pilar 1, Ning sepakat dengan usulan C-20 yang mendorong penurunan threshold. Akibat ketetapan threshold Pilar 1 senilai EUR20 miliar yang terlalu tinggi tersebut, manfaat yang diterima oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia dengan adanya Pilar 1 masih tergolong minim.
Bila threshold tidak dapat diturunkan, Ning berpandangan negara-negara berkembang sebaiknya menerapkan pajak digital secara unilateral. Indonesia sendiri memiliki ruang untuk menerapkan pajak transaksi elektronik sesuai dengan Perppu 1/2020.
"Banyak negara lain yang sudah mengenakan pajak atas transaksi elektronik secara unilateral. Apalagi kita tahu konsensus global ini tidak tahu kapan dimulainya. Mengapa kita tidak segera memberlakukan pajak transaksi elektronik secara unilateral?," ujar Ning.
Selain mendorong peningkatan tarif pajak minimum global Pilar 2 serta penurunan threshold Pilar 1, C-20 juga mendorong beberapa agenda perpajakan lainnya seperti pemberlakuan pajak kekayaan, penerapan perspektif gender dalam kebijakan pajak, pembentukan badan pajak untuk perpajakan global melalui UN Tax Convention, dan pemberlakuan pajak karbon yang efektif.
C-20 mengusulkan pemberlakuan pajak kekayaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Pajak kekayaan diusulkan dengan tarif fix rate untuk setiap kekayaan di atas US$10 juta.
Catatan lainnya, perspektif gender perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pajak diperlukan guna menghapuskan pembebanan pajak yang tidak adil terhadap perempuan.
Selanjutnya, C-20 menilai perlunya badan pajak khusus di bawah naungan PBB guna membahas masalah perpajakan di berbagai yurisdiksi. Badan pajak internasional di bawah naungan PBB dirasa lebih mewakili kepentingan seluruh negara baik negara maju maupun negara berkembang.
Terkait dengan implementasi pajak karbon, C-20 mendorong penerapan pajak karbon yang efektif dan memastikan pajak tersebut ditanggung secara adil baik oleh produsen maupun oleh konsumen. C-20 juga mendukung rencana G-20 dan OECD yang berencana membentuk Inclusive Forum on Carbon Mitigation Approach. Hanya saja, C-20 berpandangan perancangan mekanisme pajak karbon ini akan lebih inklusif bila dilakukan melalui mekanisme PBB. (sap)