Pengendara motor mengisi BBM jenis Pertalite di sebuah SPBU Pertamina di Jakarta, Jumat (24/12/2021). Pemerintah berencana menghapus BBM RON 88 Premium dan RON 90 Pertalite sebagai upaya mendorong penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
JAKARTA, DDTCNews - Wakil Presiden Maruf Amin menjelaskan latar belakang di balik kebijakan penghapusan BBM jenis Premium mulai 2022 mendatang. Menurutnya, langkah itu diambil untuk mendukung terwujudnya pemanfaatan energi hijau.Â
"Itu pertama dalam rangka energi hijau ya. Kedua, tentu juga ada aspek lain efisiensi,  tetapi yang nomor satu itu [energi hijau]. Karena itu, kita akan mulai 2022 ini dan secara rinci yang sudah dilakukan," ujar Maruf Amin kepada awak media di Istana Wakil Presiden, Selasa (28/12/2021).Â
Sementara itu Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menambahkan penghapusan BBM Premium dan Pertalite sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2017. Beleid ini memang mengatur spesifikasi bensin harus memiliki angka oktan (RON) minimal 91.Â
Artinya, Premium dengan RON 88 dan Pertalite dengan RON 90 tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan pemerintah. Pertamax (RON 92) bakal jadi jenis BBM dengan angka oktan paling minimum yang masuk spesifikasi BBM di Indonesia.Â
"Jadi itu dasarnya. Kita juga melihat bagaimana tahapan yang dilakukan karena Bapak Presiden [Jokowi] sendiri mengatakan bahwa harus melihat juga aspek lain dalam imp;ementasinya," kata Nicke saat mendampingi Wapres Maruf Amin.
Menurut Nicke, sejumlah aspek yang ikut dipertimbangkan dalam proses transisi penghapusan BBM Premium dan Pertalite adalah affordability alias kemampuan masyarakat dalam membeli BBM dan kondisi pasokan dari Pertamina.Â
Karenanya, ujar Nicke, peralihan dari Premium ke jenis BBM beroktan lebih tinggi sudah dilakukan sejak 2020. Pertamina telah menjalankan program 'Langit Biru' dengan tujuan mendorong masyarakat beralih dari BBM beroktan rendah seperti Premium. Sebagai informasi, sebagian besar SPBU di Tanah Air memang sudah tidak lagi menjual BBM Premium.Â
"Alhamdulillah selama dari Juni 2020 sampe dengan hari ini, karbon emisi yang berhasil kita turunkan 12 juta ton dan itu kontribusi dari masyarakat yang beralih dari Premium ke Pertalite," kata Nicke.Â
Pertamina, ujar Nicke, akan melanjutkan proses transisi penggunaan BBM dengan angka oktan minumum 91, sesuai dengan ketentuan dari Menteri LHK. Jika selama ini upaya peralihan hanya berlaku untuk Premium ke Pertalite, maka selanjutnya akan mulai dilakukan program peralihan dari Pertalite ke Pertamax.Â
Kendati kampanye penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan terus dilakukan, Nicke memastikan produk BBM jenis Pertalite masih bisa ditemui di lapangan. Ia memastikan kalau penghapusan Pertalite belum dilakukan pada saat ini. Pertamina, ujarnya, masih dalam tahap edukasi penggunaan BBM dengan oktan lebih tinggi seperti Pertamax.Â
"Jadi Pertalite ini masih ada di pasar, jadi silakan. Tapi kami mendorong agar menggunakan yang lebih baik yaitu Pertamax supaya kita bisa memberikan kontribusi terhadap penurunan karbon emisi di Indonesia," ujar Nicke.Â
Seperti diketahui, pemerintah melalui Pertamina memang berencana menghapus BBM Premium sepenuhnya mulai 2022. Hal ini sejalan dengan ketentuan Menteri LHK yang mengharuskan spesifikasi angka oktan BBM minimum 91. Namun, proses transisi akan dilakukan secara bertahap. Sebagian besar SPBU Pertamina sendiri memang sudah tidak lagi menjual BBM Premium saat ini.Â
Dari aspek fiskal, pemerintah juga menetapkan pengenaan pajak karbon dimulai 1 April 2022 mendatang. Kebijakan ini juga mendukung pemanfaatan energi hijau untuk mengurangi emisi karbon. Ketentuan ini masuk dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disahkan DPR pada 7 Oktober 2021.
Dalam bagian penjelasan UU HPP disebutkan tahapan pengenaan pajak karbon. Pertama, pada 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon. Kedua, pada 2022—2024 diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Ketiga, pada 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai dengan kesiapan sektor terkait. Perluasan sektor tetap memperhatikan kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala. (sap)