PEREKONOMIAN INDONESIA

Sri Mulyani: 2022 Jadi Penentu Konsolidasi Fiskal

Dian Kurniati | Sabtu, 08 Mei 2021 | 06:01 WIB
Sri Mulyani: 2022 Jadi Penentu Konsolidasi Fiskal

Menteri Keuangan Sri Mulyan indrawati saat memaparkan RAPBN 2022 beberapa waktu lalu. Menkeu menyebut 2022 menjadi tahun yang menentukan keberhasilan konsolidasi fiskal pada 2023. (Foto: Kemenkeu)

JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut 2022 menjadi tahun yang menentukan keberhasilan konsolidasi fiskal pada 2023.

Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan mengembalikan defisit APBN ke bawah 3% pada 2023. Strategi utamanya menjalankan reformasi berbagai sisi pada 2022, mulai dari peningkatan pendapatan, penguatan belanja prioritas, hingga menggunakan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan.

"Tahun 2022 sangat menentukan di mana fondasi dan konsolidasi dan reform harus dilakukan dan harus berhasil," katanya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021, Selasa (4/5/2021).

Baca Juga:
Masih Aman, Sri Mulyani Ungkap Rasio Utang Terjaga di 38,79 Persen PDB

Sri Mulyani mengatakan konsolidasi fiskal membutuhkan kebijakan makro yang sehat dan berbagai transformasi. Transformasi struktural seperti penerbitan UU Cipta Kerja akan membuat pertumbuhan ekonomi lebih berkelanjutan.

Reformasi fiskal juga harus dilakukan untuk mendukung konsolidasi fiskal. Dari sisi peningkatan pendapatan, menurut Sri Mulyani, pemerintah membutuhkan reformasi perpajakan yang sehat adil, dan kompetitif.

Terdapat beberapa langkah dalam mereformasi perpajakan, antara lain melalui inovasi penggalian potensi pajak untuk meningkatkan tax ratio, memperluas basis perpajakan, serta memperbarui sistem perpajakan yang sejalan dengan struktur perekonomian.

Baca Juga:
Insentif Pajak untuk Investasi DHE SDA Selain Deposito Segera Terbit

Khusus pada poin perluasan basis perpajakan, opsi yang dipertimbangkan misalnya optimalisasi penerimaan pajak dari sektor e-commerce, menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), serta pengenaan cukai pada kantong plastik.

Setelah itu, ada upaya optimalisasi pengelolaan aset dan inovasi layanan, serta penguatan tata kelola dan kebijakan melalui implementasi peraturan pelaksanaan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dari sisi belanja, pemerintah akan menerapkan zero based budgeting dengan melakukan efisiensi belanja kebutuhan dasar, fokus hanya pada program prioritas, berorientasi pada hasil, serta memastikannya berdaya tahan.

Baca Juga:
Kemenkeu Catat Realisasi Pembiayaan Utang Kuartal I Turun 53 Persen

Kemudian, ada langkah transformasi subsidi menjadi bantuan sosial, efektivitas perlindungan sosial melalui akurasi data dan integrasi program, pengawasan dana transfer, serta mengoptimalkan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).

Dari sisi pembiayaan, pemerintah akan menjadikan utang sebagai instrumen untuk countercyclical yang dikelola secara hati-hati dan berkelanjutan. Selain itu, ada upaya mendorong efektivitas pembiayaan investasi antara lain melalui pemberian suntikan modal kepada BUMN secara selektif.

Secara bersamaan, pemerintah akan menguatkan peran sovereign wealth fund (SWF) dan special mission vehicle (SMV) yang telah terbentuk, serta memperkuat manajemen kas untuk menjaga fiscal buffer yang andal dan efisien.

Baca Juga:
Posisi Utang Pemerintah Capai Rp8.262,1 Triliun pada Akhir Maret 2024

"Dari perspektif risiko makro, kita perlu mempercepat respons fiskal dari sisi perpajakan dan spending untuk mengendalikan rasio dan risiko utang kita," ujar Sri Mulyani.

Sebelumnya, Sri Mulyani menyebut postur APBN 2022 dengan defisit 4,51% hingga 4,85% terhadap produk domestik bruto (PDB). Rencana defisit tersebut lebih kecil ketimbang tahun ini yang ditargetkan 5,7% terhadap PDB, sebelum mengembalikannya ke level 3% terhadap PDB pada 2023.

Pendapatan negara ditargetkan Rp1.823,5 hingga Rp1.895,4 triliun pada 2022, sedangkan belanja negara Rp2.631,8 hingga Rp2.775,3 triliun. Pemerintah merancang defisit APBN 2022 senilai Rp808,2 hingga Rp879,9 triliun atau antara 4,5%-4,8% terhadap PDB.

Dengan perkiraan defisit tersebut, penarikan utang pada 2022 diprediksi sebesar 4,81%-5,8% terhadap PDB. Adapun rasio utang pada 2020 diprediksi sebesar 43,76%-44,28% terhadap PDB, naik dari target tahun ini kurang lebih 41,05% terhadap PDB. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

10 Mei 2021 | 08:18 WIB

Reformasi fiskal perlu dilakukan mengingat adanya irisan antara cukai, pajak, dan retribusi sehingga membuat pembuatan regulasi mengenai jenis pajak baru menjadi sulit untuk dilakukan

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Rabu, 08 Mei 2024 | 09:07 WIB KURS PAJAK 08 MEI 2024 - 15 MEI 2024

Kurs Pajak Terbaru: Akhirnya Rupiah Kembali Menguat Atas Dolar AS

Rabu, 08 Mei 2024 | 08:00 WIB LITERATUR PAJAK

Pentingnya Belajar Pajak dalam Bahasa Inggris, Cek Platform Ini

Rabu, 08 Mei 2024 | 06:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

WP dengan SPT Lebih Bayar atau Rugi Masuk Prioritas Pemeriksaan DJP

Selasa, 07 Mei 2024 | 19:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pilih Pakai Tarif PPh Umum, Perlukah WP Badan Sampaikan Pemberitahuan?

Selasa, 07 Mei 2024 | 17:43 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

UU Belum Direvisi, WNI Belum Bisa Berkewarganegaraan Ganda

Selasa, 07 Mei 2024 | 17:30 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Jokowi Bandingkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dengan Negara Lain

Selasa, 07 Mei 2024 | 17:11 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Tak Paham Ketentuan Impor, Importir Bisa Manfaatkan Jasa PPJK

Selasa, 07 Mei 2024 | 17:05 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Catat! Batas Akhir Penyetoran PPh Masa April 2024 Mundur ke 13 Mei