LAPORAN DDTC DARI BELANDA

Menyimak Pro dan Kontra CFC Rules

Redaksi DDTCNews | Kamis, 11 Maret 2021 | 10:30 WIB
Menyimak Pro dan Kontra CFC Rules

CFC rules merupakan salah satu ketentuan bidang perpajakan yang tengah “naik daun” beberapa tahun belakangan. Diinisiasi Amerika Serikat pada 1960-an, OECD/G20 kemudian mencoba melakukan penyeragaman dan harmonisasi CFC rules melalui BEPS Action Plan 3. Tujuan utamanya tak lain untuk mencegah double taxation atau penghindaran pajak yang lebih besar oleh korporasi dengan memanfaatkan celah perbedaan aturan hukum.

Akan tetapi, hingga saat ini, negara anggota OECD/G20 belum berhasil menyeragamkan ketentuan CFC. Mewujudkan keseragaman memang bukan hal mudah lantaran Aksi 3 tersebut bukanlah standar minimum, serta penerapan CFC rules yang sarat dengan pro dan kontra.

Lantas, apa saja pro dan kontra aturan CFC? Tulisan ini mencoba menjawab hal tersebut berdasarkan topik yang diangkat dalam mata kuliah bertajuk Business Taxation and Decision-Making Process. Materi tersebut diperoleh penulis selama berkuliah di Tilburg University melalui program HRDP yang diberikan oleh DDTC. Selamat membaca!

Baca Juga:
Sambut Hari Kartini, DDTC Hadirkan Diskon untuk Perempuan Indonesia

Konsep Umum
CONTROLLED Foreign Company (CFC) merupakan entitas yang dikendalikan sebagian maupun keseluruhan oleh individu ataupun entitas hukum melalui kepemilikan saham. Umumnya, proporsi saham yang dibutuhkan dalam melakukan pengendalian ialah lebih dari 50% (de jure).

Namun, terdapat pula beberapa skema yang menjadikan proporsi kepemilikan saham kurang dari 50% tetap dapat menimbulkan hak untuk mengendalikan perusahaan. Hal ini dikarenakan terdapat persetujuan dari para pihak terkait (de facto).

Dalam konteks perpajakan, permasalahan yang muncul ialah ketika mekanisme ini pada akhirnya dipergunakan untuk mengalihkan penghasilan dan/atau harta kekayaan ke negara-negara yang memiliki tarif pemajakan yang lebih rendah sehingga penerimaan pajak domestik dari suatu negara berkurang secara drastis (Arnold, 2019). Oleh karena itu, banyak negara yang mengambil langkah untuk memajaki penghasilan CFC melalui kebijakan yang dinamakan CFC rules.

Baca Juga:
P3B 2 Negara Ini Belum Jelas, Modal Asing yang Keluar Bakal Melonjak

CFC rules merupakan ketentuan untuk membatasi penangguhan pengenaan pajak (anti-deferral) atas penghasilan CFC, sebelum CFC tersebut mendistribusikan penghasilannya ke pengendalinya baik perusahaan induk ataupun individu. CFC rules pada umumnya akan memajaki penghasilan dari CFC tersebut pada tingkat pemegang saham (pengendali), terlepas dari apakah pemegang saham menerima penghasilan tersebut atau tidak (Harris, 2012). Dengan demikian, penundaan pajak (tax deferral) atas penghasilan CFC dapat dibatasi.

Keunggulan
PENERAPAN CFC rules sendiri dipercaya mampu mendorong negara-negara tax haven untuk mengubah perilaku mereka (Mara, 2015). Hal ini dikarenakan CFC rules dinilai mampu mendorong transparansi dan tukar menukar informasi dengan otoritas pajak dari negara lain.

CFC rules pun mendukung penguatan netralitas pajak sebab perusahaan tidak bisa menghindar dari kewajiban perpajakannya secara adil sekalipun dengan memindahkan penghasilan dan/atau harta kekayaan ke jurisdiksi lain (Elkins, 2019). Beberapa negara Uni Eropa yang memberlakukan kebijakan ini mengalami tren positif dari sisi penerimaan pajak domestiknya (Egger, 2015).

Baca Juga:
Catat, Ini Tahapan dan Jadwal Pilkada Serentak 2024

Ketentuan ini juga dirasa mampu untuk menjamin keadilan. Salah satunya dengan adanya definisi kontrol dan threshold mengenai CFC. Umumnya, CFC rules pada akhirnya hanya akan berdampak pada segelintir perusahaan multinasional besar yang memiliki pangsa pasar besar ataupun kelompok individu sangat kaya. Sementara itu, dampaknya tidak akan terlalu signifikan untuk perusahaan multinasional yang relatif kecil dengan kemampuan ekspansi terbatas (Mei Kei, 2017).

Kelemahan
DI sisi lain, CFC rules sering kali dikaji kompatibilitasnya dengan P3B (tax treaty). Permasalahan utamanya sendiri terletak pada minimnya pengaturan CFC dalam suatu tax treaty sehingga mengakibatkan adanya potensi pemajakan berganda (OECD, 2015).

Namun, permasalahan ini sebenarnya tidak signifikan karena negara-negara tax haven yang menjadi sasaran CFC sedari awal memang tidak memiliki tax treaty dengan negara-negara lain (Andersson, 2006).

Baca Juga:
Hanya 5 Hari! Diskon 40% untuk Buku Pajak dan Langganan Premium

Sekalipun secara teoretis diklaim tidak menimbulkan pajak berganda, terdapat dugaan lain mengenai alasan sebenarnya dari penerapan CFC yang dapat berdampak buruk pada negara tujuan investasi. Salah satunya ialah karena penyeragaman tarif pemajakan akan berdampak secara tidak proporsional kepada negara-negara tertentu, khususnya tax haven.

Pasalnya, negara tax haven menjadikan tarif pajak rendah sebagai daya tarik investasi karena sedikitnya pangsa pasar atau sumber daya lain yang menjadi daya tarik investasinya.

Bagi negara-negara di kawasan Uni Eropa, CFC rules juga pernah diuji ke European Court of Justice (ECJ), yakni pada kasus Cadbury Schweppes. Putusan kasus ini memperlihatkan bahwa kebijakan CFC rules sangat efisien dari sisi perpajakan regional karena selaras dengan prinsip kebebasan berinvestasi di dalam internal komunitas ekonomi Uni Eropa. Namun, dampak CFC rules bagi investor yang berasal dari luar lingkup wilayah Uni Eropa masih belum jelas (Weiguang dan Wiman, 2018).

Baca Juga:
Hak dan Kewajiban Perawat dalam Lingkup Pajak, Ini Panduan Profesinya

Selain itu, CFC rules juga sering kali dinilai tidak efisien dikarenakan menyebabkan adanya tambahan beban bagi para pelaku bisnis. Hal ini dapat terlihat dari sisi compliance cost, terutama yang terkait dengan pelaporan CFC rules, prosedur pengajuan klaim kredit pajaknya, hingga potensi terjadinya sengketa pajak (Dharmapala, 2008; OECD, 2015). Singkatnya, menambah beban administrasi yang sebenarnya tidak diperlukan.

Padahal, terdapat kemungkinan bahwa penempatan penghasilan dan/atau harta di CFC justru didorong dari keputusan bisnis yang rasional dan bukan motif penghindaran pajak.

Penutup
POTENSI pajak berganda memang menjadi hal utama yang sering kali dipermasalahkan dari kebijakan CFC rules. Akan tetapi, patut untuk digarisbawahi, sudah terdapat beberapa solusi untuk mengatasi risiko tersebut.

Baca Juga:
Jika Batalkan 2 Pilar OECD, UN Tax Convention Tak Akan Disahkan Eropa

Salah satunya ialah dengan memberikan fasilitas kredit pajak atas atas dividen yang pada akhirnya tidak dibagikan kepada investor (Collier, 2018; Burkadze, 2016). Dengan kata lain, fasilitas ini akan memberikan kemudahan dan keadilan bagi investor.

Terlepas dari beberapa kelemahan dari CFC rules sebagaimana yang telah dijabarkan, kebijakan ini menjadi makin populer untuk diterapkan berbagai negara. Hal ini dilatarbelakangi sistem pajak internasional yang makin transparan melalui berbagai pertukaran informasi di bidang perpajakan serta makin meluasnya pembahasan mengenai fair-share dalam konteks pajak.

Transparansi informasi perpajakan yang dimotori oleh CFC, dapat mencegah perpindahan dana hasil kejahatan seperti korupsi, money laundering, atau tindak pidana ekonomi lainnya (Mei Kei, 2017).

Baca Juga:
Australia Mulai Terapkan Pajak Minimum Global Tahun Ini

Pada akhirnya, banyak negara yang mulai berkompromi untuk mencari titik tengah antara kebutuhan menarik minat investor di satu sisi serta mendorong keterbukaan informasi ataupun kepatuhan untuk membayar pajak.

Caranya tidak lain ialah menerapkan CFC rules dengan standar paling minimum sebagai kebijakan unilateralnya. Terlebih, dari sisi efisiensi perpajakan, keunggulan CFC rules untuk menangani masalah penghindaran pajak masih lebih signifikan dibandingan berbagai potensi risikonya.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

12 Maret 2021 | 23:56 WIB

terimakasih ilmunya., saya jadi lebih paham mengenai pro dan kontra CFC

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 07:30 WIB LITERATUR PAJAK

Sambut Hari Kartini, DDTC Hadirkan Diskon untuk Perempuan Indonesia

Kamis, 04 April 2024 | 11:10 WIB PEMILU 2024

Catat, Ini Tahapan dan Jadwal Pilkada Serentak 2024

Rabu, 03 April 2024 | 08:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hanya 5 Hari! Diskon 40% untuk Buku Pajak dan Langganan Premium

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Begini Imbauan Ditjen Pajak soal Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan

Jumat, 19 April 2024 | 07:30 WIB LITERATUR PAJAK

Sambut Hari Kartini, DDTC Hadirkan Diskon untuk Perempuan Indonesia

Kamis, 18 April 2024 | 18:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Antisipasi Dampak Iran-Israel, Airlangga: Masih Tunggu Perkembangan

Kamis, 18 April 2024 | 17:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Salah Lapor SPT Tahunan? DJP: Tenang, Masih Bisa Pembetulan

Kamis, 18 April 2024 | 16:50 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Salah Input Kode Akun Pajak dan Sudah Pembayaran, Ini Saran DJP

Kamis, 18 April 2024 | 16:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ada Transaksi Afiliasi, SPT Tahunan Wajib Dilampiri Ikhtisar TP Doc

Kamis, 18 April 2024 | 15:37 WIB PENERIMAAN PAJAK

Pemerintah Bidik Tax Ratio 11,2-12 Persen pada 2025

Kamis, 18 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Jaga Kesehatan APBN, Bagaimana Cara Optimalkan Penerimaan Negara?

Kamis, 18 April 2024 | 15:00 WIB TIPS PAJAK

Cara Buat Surat Pernyataan Wajib Pajak Non-Efektif

Kamis, 18 April 2024 | 14:30 WIB PERTUMBUHAN EKONOMI

Susun RKP, Ekonomi Ditarget Tumbuh 5,3 - 5,6 Persen pada Tahun Depan