RUU OMNIBUS LAW PERPAJAKAN

Menyambut Sistem Pajak Hybrid Territorial di Indonesia

Sabtu, 07 Maret 2020 | 11:27 WIB
Menyambut Sistem Pajak Hybrid Territorial di Indonesia

Darussalam,
Managing Partner DDTC

BAGI suatu negara, penerapan sistem pajak internasional yang efektif merupakan salah satu “bekal” dalam memenangkan kompetisi pajak global. Apalagi jika negara tersebut mempunyai tujuan utama untuk memajukan perekonomiannya melalui pengembangan di bidang investasi lintas negara. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak negara berusaha untuk menciptakan sistem pajak yang sesuai dengan kondisi negara sekaligus kompetitif dalam menarik investasi (Li Liu, 2018).

Dalam praktik, setiap negara mempunyai kedaulatan untuk merancang dan menerapkan sistem pajak internasionalnya sendiri. Namun, dalam konsepnya, sistem pajak internasional dirancang berdasarkan dua prinsip perpajakan dasar, yaitu prinsip domisili dan prinsip sumber.

Sistem pajak yang dirancang berdasarkan prinsip domisili dikenal dengan istilah sistem pajak worldwide. Yaitu, sistem yang mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Negara yang menganut sistem pajak worldwide juga mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak luar negeri yang bersumber dari negaranya (Razin dan Slemrod, 1990).

Sementara itu, sistem pajak berdasarkan prinsip sumber disebut dengan sistem pajak territorial. Negara dengan sistem pajak territorial hanya mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan kata lain, penghasilan yang bersumber dari luar negara tersebut, tidak dikenakan pajak (Rohatgi, 2005).

Meskipun sistem pajak worldwide sering disebut-sebut sebagai sistem pajak internasional yang diterapkan oleh banyak negara, tren yang terjadi dewasa ini berkata sebaliknya. Banyak negara mulai meninggalkan sistem pajak worldwide dan beralih ke sistem pajak territorial (Matherson, 2013).

Sebagai gambaran pada tahun 2000, 17 dari 34 negara OECD masih mengadopsi sistem pajak worldwide. Pada tahun 2018, hanya tersisa 6 negara OECD yang masih mengadopsi sistem pajak worldwide.

Lihat juga apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS). Kala itu, melalui pengesahan undang-undang baru yang disebut Tax Cuts and Jobs Act (TCJA) pada tanggal 22 Desember 2017, salah satu poin yang menjadi sorotan adalah klaim perubahan sistem pajak AS dari worldwide ke territorial, walaupun hanya jenis penghasilan tertentu saja yang bersumber dari luar negeri yang tidak dikenakan pajak

Adapun jenis penghasilan tertentu yang dibebaskan tersebut, adalah pajak atas dividen dari luar negeri yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri AS. Dengan kata lain, sistem pajak territorial di AS tidak berlaku untuk semua jenis penghasilan luar negeri. Namun, hanya terbatas atas jenis penghasilan tertentu. Dalam konsep, sistem ini dikenal dengan istilah sistem pajak hybrid territorial.

Langkah yang dilakukan AS untuk beralih dari sistem pajak worldwide menjadi sistem pajak territorial bukanlah yang pertama. Sebelumnya, UK dan Jepang telah lebih dulu “hijrah” dari worldwide ke territorial. Sama halnya dengan AS. Sistem pajak territorial yang diterapkan UK dan Jepang bukanlah sistem pajak territorial murni sebagaimana termaktub dalam konsepnya. Kedua negara ini menganut sistem pajak hybrid territorial.

Alasannya, UK hanya mengecualikan pengenaan pajak atas pembayaran dividen yang berasal dari luar negeri serta laba yang dihasilkan oleh cabang perusahaan di luar negeri. Sementara itu, sistem pajak territorial di Jepang hanya berlaku atas penghasilan luar negeri dalam bentuk dividen.

Tak pelak, tren beralihnya negara-negara dari sistem pajak worldwide menjadi sistem pajak territorial mengundang satu pertanyaan besar, yaitu apa yang menjadi alasan utama dari peralihan tersebut. Mullins dalam tulisannya yang berjudul “Moving to Territoriality? Implications for the United States and the Rest of The World” mengungkapkan alasan beralihnya suatu negara dari worldwide ke territorial.

Pertama, sistem pajak territorial dianggap mampu mengurangi kompleksitas yang terjadi dari penerapan sistem pajak worldwide. Kedua, meningkatkan daya saing ekonomi suatu negara dalam merebut pangsa pasar internasional. Ini sebagaimana terjadi di UK yang saat itu sedang bersaing dengan negara Uni Eropa lainnya (Irlandia, Benelux, dan Swiss).

Ketiga, mencegah terjadinya penguncian modal di luar negeri (lock-out capital). Contohnya yang terjadi di AS dan Jepang. Keempat, mengeliminasi loophole dari penerapan sistem pajak worldwide atas penghasilan dari luar negeri.

Pemilihan sistem pajak internasional merupakan hal krusial bagi suatu negara. Terlebih, di tengah kompetisi pajak antarnegara yang kian intens serta masifnya praktik penghindaran pajak lintas batas negara. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Perspektif Indonesia

Tren “hijrahnya” suatu negara dari sistem pajak worldwide ke territorial juga akan dirasakan Indonesia apabila RUU Omnibus Law Perpajakan sah diundangkan. Melalui rencana pemberlakuan Pasal 4 ayat (1) huruf ‘b’ dan huruf ‘c’ RUU ini, Indonesia akan menuju sistem pajak territorial yang tidak murni.

Penerapan sistem pajak territorial ini ditandai dengan adanya pengecualian pengenaan pajak atas beberapa jenis penghasilan dari luar negeri yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri sepanjang penghasilan tersebut diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Rincian dan ketentuan dari pengecualian ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1 Jenis Penghasilan dari Luar Negeri yang Dikecualikan dari Pengenaan Pajak di Indonesia


Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa sistem pajak territorial yang dirumuskan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan bukanlah sistem pajak territorial murni, melainkan sistem pajak hybrid territorial sebagaimana yang diterapkan di AS, UK, dan Jepang. Sebab, pengecualian pengenaan pajak dalam RUU tersebut tidak berlaku untuk seluruh penghasilan luar negeri. Namun, hanya berlaku atas dividen, penghasilan setelah pajak dari BUT, serta penghasilan dari kegiatan usaha di luar negeri yang tidak melalui BUT.

Rencana Indonesia “menyambut” sistem hybrid territorial tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang ingin dicapai dalam RUU Omnibus Law Perpajakan, yaitu meningkatkan pendanaan investasi dalam negeri dengan membawa kembali penghasilan wajib pajak dalam negeri Indonesia yang selama ini “diparkir” di luar negeri. Kemudian, penghasilan ini pun akan dikunci dalam jangka waktu tertentu agar tidak pergi dari Indonesia. Itulah harapan yang diinginkan, semoga.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

19 Maret 2020 | 18:05 WIB

Super sekali

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN