Paparan Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Dwi Astuti. (Foto: Youtube Official UKI Jakarta)
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menyampaikan tren sengketa pajak terkait dengan transfer pricing makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, perlu upaya ekstra untuk melakukan pencegahan oleh otoritas.
Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional DJP Dwi Astuti tidak memerinci seberapa tinggi tren sengketa pajak terkait dengan transfer pricing.
Menurutnya, naiknya tren sengketa pajak terkait dengan penetapan harga transfer untuk transaksi yang memiliki hubungan istimewa disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, jenis transaksi yang digunakan makin banyak dengan metode yang makin rumit. Kedua, meningkatnya pengetahuan wajib pajak dan otoritas tentang transaksi lintas batas yang berkaitan dengan afiliasi usaha di luar negeri. Kedua faktor itu tidak jarang berujung sengketa pajak.
"Kalau dibilang akhir-akhir ini banyak sekali sengketa di bidang transfer pricing seperti Pak Torang [moderator] bilang itu betul, karena jenisnya makin banyak dan metode yang luar biasa tingkat kerumitannya," katanya dalam webinar Universitas Kristen Indonesia (UKI), Senin (1/2/2021).
Dwi Astuti menjabarkan upaya DJP untuk menekan potensi terjadinya sengketa dengan wajib pajak terkait dengan transfer pricing adalah dengan melakukan upaya pencegahan.
Hal tersebut dilakukan otoritas dengan mendorong wajib pajak memanfaatkan fasilitas kesepakatan harga transfer atau Advance Pricing Agreement (APA). Menurutnya, pemerintah sudah memberikan panduan lengkap terkait dengan tata cara APA melalui PMK No.22/2020.
Selain itu, aturan turunan dari PMK No.22/2020 melalui Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) No.17/2020 juga ikut mengakomodasi opsi peninjauan kembali APA yang sudah disepakati jika pelaku usaha terdampak pandemi Covid-19.
Pasal 3 ayat (4) PER-17/PJ/2020 menyebutkan bagi wajib pajak terdampak negatif pandemi maka tingkat laba yang diajukan dalam proyeksi laporan keuangan pada permohonan APA merupakan tingkat laba hasil penyesuaian pada kondisi normal.
Sebelumnya, relaksasi itu tidak diatur dalam aturan tata cara pelaksanaan APA. Salah satu ketentuan formal pelaksanaan APA ialah penyelenggaraan dokumen transfer pricing tidak mengakibatkan laba operasi lebih kecil dari laba operasi 3 tahun pajak sebelum tahun pajak pengajuan APA.
"Jika APA sudah disepakati sebelum pandemi dan ternyata bisnisnya terimbas negatif maka bisa melakukan peninjauan kembali. Sampai saat ini sudah ada 1 permohonan peninjauan kembali yang diterima. Jadi bisa duduk bersama dan didiskusikan," ujarnya.
Dwi Astuti menjamin kerahasiaan dokumen permohonan APA yang diajukan oleh wajib pajak. Dia menegaskan instrumen APA merupakan salah satu cara DJP untuk mencegah terjadinya sengketa pajak terkait dengan transaksi transfer pricing yang dilakukan wajib pajak.
"Dokumen dalam proses APA tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan tindak pidana perpajakan, jadi dijamin kerahasiaannya," imbuhnya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.