DEBAT PAJAK

Pilih BPP atau Tetap DJP? Tulis Komentarnya, Raih Handphonenya

Redaksi DDTCNews | Jumat, 01 November 2019 | 18:20 WIB
Pilih BPP atau Tetap DJP? Tulis Komentarnya, Raih Handphonenya

JAKARTA, DDTCNews—Wacana pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP) untuk menggantikan kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggumpal di udara Ibu Kota sejak Presiden Joko Widodo memasukkan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ke DPR pada 4 Mei 2016.

Namun, wacana itu perlahan tenggelam terutama setelah Presiden menunjuk Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan menggantikan Bambang P.S. Brodjonegoro pada Rabu (27/7/2016), hingga kini dilantik kembali. Sri Mulyani yang enggan membentuk BPP, juga tidak melanjutkan pembahasan RUU tersebut.

Kini, selepas Pemilu 2019, dan Presiden Joko Widodo kembali dilantik untuk periode kedua bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin, wacana pembentukan BPP kembali mengemuka. Apalagi, pemerintah hendak merilis UU Omnibus Law investasi dan perpajakan, yang BPP bisa dimasukkan ke dalamnya.

Baca Juga:
Pilih Lunasi Utang Pajak, Rekening WP Ini Akhirnya Dibuka Blokirnya

Kalangan yang setuju dengan pembentukan badan tersebut menilai BPP adalah kebutuhan riil reformasi pajak di Indonesia. BPP yang berkontribusi sekitar 70% bagi penerimaan pajak dengan jumlah pegawai lebih dari 40 ribu seharusnya naik kelas sejajar dengan kementerian, bukan selevel eselon satu seperti selama ini.

Dengan BPP, kelembagaan pajak bisa menjadi semi-independen dan tidak terpaku pada birokrasi yang kaku dan lamban. BPP—yang mempunyai diskresi keuangan, sumber daya manusia, dan organisasi—diperlukan untuk memecah kebuntuan akibat kegagalan penerimaan pajak yang bertahan sejak 2008.

Struktur organisasi BPP bisa mengadopsi komisioner yang mencakup perwakilan pengusaha, asosiasi, akademisi, dan pemerintah, sehingga komisioner BPP merupakan representasi beberapa stakeholder. Namun, BPP harus berkoordinasi dengan Kemenkeu, sehingga BPP menjadi semi-independen.

Baca Juga:
Salah Input Kode Akun Pajak dan Sudah Pembayaran, Ini Saran DJP

Adapun kalangan yang menolak pembentukan BPP berpandangan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang berada di tangan Menteri Keuangan. Karena itu, DJP tidak bisa berdiri sendiri karena kalau tidak, DJP akan memiliki kebijakan sendiri yang tidak sinkron dengan kebijakan fiskal.

Selain itu, posisi DJP di masa akan datang dianggap bukan merupakan tujuan yang utama. Pokok yang terpenting adalah membangun institusi pajak yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Dengan demikian, DJP bisa memperkuat kepercayaan masyarakat yang sudah diraihnya dengan mencapai target penerimaan.

Ada pula kekhawatiran ketika DJP dijadikan BPP, maka praktik perpajakan akan semakin menekan. Kalangan yang menolak BPP juga mempertanyakan, jangan-jangan persoalannya bukan pada kelembagaannya, tetapi pada kewenangan yang tidak diseimbangkan dengan pengawasannya.

Baca Juga:
Ajukan Penghapusan NPWP, Utang Pajak Harus Lunas? Begini Ketentuannya

Presiden Jokowi sendiri memilih menjaga jarak terhadap wacana pembentukan BPP ini. Ia tidak lagi bersikap tegas pro BPP seperti ditunjukkannya sebelum ia dilantik sebagai Presiden RI 2014-2019. Namun, sisa preferensi sikap Presiden itu masih terlihat dari Visi-Misi dan RPJMN 2015-2019.

Lalu, apa pendapat Anda sendiri? Setuju dengan pembentukan BPP yang semi-independen di bawah Presiden, atau tetap seperti DJP kini yang eselon satu di bawah Menteri Keuangan? Atau Anda punya pandangan lain? Tulis komentar Anda di bawah ini, siapa tahu Anda yang terpilih meraih hadiah handphone Samsung!



Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

Pilih BPP atau DJP lalu tuliskan komentar Anda
BPP
DJP
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

BPP
47
90.38%
DJP
5
9.62%

17 November 2019 | 19:03 WIB
sudah saat DJP berdiri sendiri agar dapat membangun institusi pqjak.yg kuat,kredibel dan akuntabel.

17 November 2019 | 00:58 WIB
Sudah saatnya dijadikan badan, hal ini untuk lebih efektif dan efisien dalam bertindak, reward & punishment yang fair bisa dilakukan #MariBicara

16 November 2019 | 09:54 WIB
ya...kantor pajak harus independent...seperti KPK.tapi hatus didukung staf dan pegawai yang andal.dan bebas korupsi.karena ada "bukan semua" oknum yqng melakukan praktek kkn.agar biokrasi tidak ribet.Makasih

15 November 2019 | 21:43 WIB
Menurut saya, jika pemerintah serius ingin adanya perubahan dalam pendapatan pajak & mengurangi shortfall yang 10 tahun tak pernah tuntas menjadi PR Kemenkeu, maka tidak ada jalan selain merelakan DJP menjadi badan semi otonom, agar dapat menjadi lebih kuat, kredibel, dan akuntabel, dengan justifikasi: (1) Pajak mencakup tiga, yaitu kebijakan, hukum, dan administrasi. Dimana hukum dan kebijakan tidak akan dapat berjalan maksimal jika administrasi tidak berjalan baik, sedangkan untuk mereparasi administrasi, DJP terhalang beberapa kendala seperti birokrasi yang sulit, SDM yang kurang mumpuni, & anggaran yang terbatas. (2) jika melihat kewenangan otoritas pajak ideal menurut OECD, DJP hanya menjalankan 2 dari 9 hal yang direkomendasikan. Artinya, jika saat ini 2 dari 9 tersebut dapat mengumpulkan ±80% pendapatan negara, lantas bagaimana jika 9 rekomendasi tersebut dapat dijalankan seluruhnya. Tentulah akan dapat memberikan pendapatan kepada negara yang lebih baik. #MariBicara

13 November 2019 | 09:58 WIB
Sudah tiba waktunya institusi yang mengelola regulasi dipisahkan dari birokrasi. Birokrasi yang berbelit sampai kewenangan yang sempit, membuat Direktorat Jenderal Pajak seakan kehilangan ambisi dalam memaksimalkan potensi penyumbang tersebar bagi kemakmuran negeri. Badan Penerimaan Pajak menjadi jawaban atas permasalahan yang sedang terjadi di tubuh regulasi. Meski akan ada dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah keputusan yang disetujui, tinggal kita menimbang, sisi mana yang lebih banyak memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negeri. #MariBicara

10 November 2019 | 17:30 WIB
BPP sudah saat nya lahir ditengah keterbatasan DJP saat ini.

07 November 2019 | 20:18 WIB
Menurut fakta, saat ini di berbagai negara menunjukkan bahwa administrasi pajak di bawah kementerian semakin banyak ditinggalkan. Sementara itu, administrasi pajak oleh otoritas semi-otonom semakin tumbuh pesat. Di Asia Tenggara, negara yang sudah menerapkan otoritas pajak semi-otonom yaitu Singapura dan Malaysia. Tujuan pembentukan otoritas semi-otonom ini adalah untuk memperluas kewenangan otoritas pajak. Menurut OECD ada sembilan kewenangan yang idealnya dimiliki oleh otoritas pajak. Namun, saat ini otoritas pajak di Indonesia, DJP, hanya memiliki dua dari sembilan kewenangan tersebut, yaitu kewenangan membuat peraturan dan kewenangan mengenakan sanksi administrasi. Oleh karena itu, dibentuknya BPP diharapkan dapat memperluas kewenangan otoritas pajak di Indonesia. Selanjutnya, BPP harus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, karena pajak merupakan instrumen fiskal yang merupakan kewenangan dari Kementerian Keuangan. #MariBicara

07 November 2019 | 20:17 WIB
Pembentukan BPP sebagai badan semi independen yang akan menggantikan peran dan fungsi DJP, seharusnya tidak hanya sebagai upaya pemberian kewenangan lebih bagi lembaga penerimaan pajak dalam hal pembuatan kebijakan perpajakan. Langkah tersebut juga harus dipandang sebagai upaya pemerintah untuk memperbaiki manajemen internal lembaga tersebut. Lembaga semi independen memiliki keleluasaan lebih dalam menentukan sistem manajemen kelembagaannya, tidak terpaku pada sistem kepegawaian dan birokrasi kaku yang dianut oleh pemerintah. Tujuannya agar pengelolaan organisasi tersebut dapat dilakukan dengan lebih efektif, dengan mengelola sumber daya manusia yang berkompeten, profesional dan kredibel. Sehingga, BPP mampu memberikan pelayanan prima dalam administrasi perpajakan bagi masyarakat dan mampu menjadi agen pemerintah dalam menerapkan kebijakan perpajakan yang kompetitif sebagai sumber penerimaan terbesar negara Indonesia hingga kini. #MariBicara

07 November 2019 | 16:53 WIB
Ini bukan tentang masalah sudah saatnya DJP naik kelas. Namun ini tentang revolusi birokrasi di dalam tubuh DJP itu sendiri. Ingat perubahan tidak menjamin adanya perbaikan. Adanya BPP tidak serta merta menjadi penyelesaian atas segala persoalan perpajakan selama ini. Bagaimana cara DJP dapat memperbaiki image sebagai sebuah institusi “debt collector” menjadi sebuah partner bagi para wajib pajak? Ataupun bagaimana cara DJP dapat menjalin sinergi dengan para wajib pajak menjadi satu kesatuan yang saling membutuhkan satu sama lain. Poin-poin tersebut harusnya menjadi dasar dan semangat perbaikan bagi DJP. Ingat sesering apapun sebuah pohon merubah warna daunnya, dia masih pohon yang sama dengan akar yang sama. Perubahan DJP menjadi BPP tidak akan memberi arti apa-apa jika akarnya permasalahannya masih sama. #MariBicara

07 November 2019 | 16:36 WIB
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) mengklasifikasikan 9 kewenangan administrasi yang idealnya dibutuhkan otoritas pajak. Mulai dari kewenangan membuat peraturan, kewenangan pengampunan dari sanksi atau denda, mendesain sendiri struktur organisasi internal, penganggaran, manajemen, perekrutan karyawan, memperkerjakan atau memecat karyawan, negoisasi penetapan upah karyawan, sampai dengan menetapkan standar pelayanan yang akan diterapkan. Selama ini, Ditjen Pajak kesulitan mencapai target yang ditetapkan oleh Kemenkeu. Selain target penerimaan pajak yang mengalami kenaikan signifikan setiap tahun, Ditjen Pajak juga kesulitan menetapkan kebijakan yang diperlukan untuk mencapai target tersebut karena banyaknya benturan kepentingan. Melihat porsi APBN yang 70% - 80% bersumber dari pajak, sudah seharusnya Ditjen Pajak diberikan fungsi dan kewenangan lebih dengan bertanggung-jawab langsung kepada presiden. Apabila dikhawatirkan DJP akan menjadi lembaga super body maka dapat dibentuk dewan pengawas atau komisi seperti di Singapura misalnya. Dengan menjadi BPP, Ditjen Pajak akan lebih fleksibel dalam penyusunan kebijakan untuk mencapai target, selain itu akan lebih fleksibel dalam menentukan anggaran dan SDM yang diperlukan organisasi. Satu hal lagi, saat ini Ditjen Pajak seperti ketinggalan dengan perkembangan ekonomi terutama ekonomi digital, baik dari segi regulasi, SDM, maupun perangkat keras (hardware). Seharusnya dengan menjadi BPP, dengan segala fleksibilitas yang dimiliki, gap tersebut bisa dikurangi.
ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 18 April 2024 | 16:50 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Salah Input Kode Akun Pajak dan Sudah Pembayaran, Ini Saran DJP

Kamis, 18 April 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Ajukan Penghapusan NPWP, Utang Pajak Harus Lunas? Begini Ketentuannya

Kamis, 18 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

13,37 Juta WP Sudah Laporkan SPT Tahunan 2023, Tumbuh 5,57 Persen

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M