ANALISIS PAJAK

Pengembalian Lebih Bayar atas Salah Administrasi PPh Pasal 26

Rabu, 20 Mei 2020 | 14:03 WIB
Pengembalian Lebih Bayar atas Salah Administrasi PPh Pasal 26

Ani Rahmatika,
DDTC Consulting

DALAM sistem perpajakan di Indonesia dikenal mekanisme pemotongan dan pemungutan pajak atau biasa disebut dengan withholding tax (WHT). Pelaksanaan mekanisme WHT melibatkan pihak ketiga yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak.

Pada praktiknya, tidak menutup kemungkinan bagi pemotong atau pemungut pajak melakukan kesalahan administrasi yang mengakibatkan adanya kelebihan pembayaran pajak. Terkait dengan kelebihan pemotongan PPh Pasal 26, terdapat dua permasalahan administrasi yang kerap menimbulkan sengketa.

Pertama, kelebihan pemotongan PPh Pasal 26 terkait penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Kedua, kelebihan pemotongan PPh Pasal 26 selain terkait penerapan P3B.

Pengembalian LB Terkait Penerapan P3B

Berdasarkan Pasal 18 PMK 187/2015 dan Pasal 10 PER-25/2018, terdapat tiga jenis penyebab kelebihan pemotongan PPh Pasal 26 terkait dengan penerapan P3B. Pertama, kesalahan penerapan P3B, misalnya berdasarkan ketentuan P3B Indonesia dan negara domisili penghasilan yang diterima oleh subjek pajak luar negeri (SPLN) tidak dikenai pajak di Indonesia. Namun, wajib pajak di Indonesia terlanjur melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas pembayaran penghasilan tersebut.

Kedua, terlambat menyampaikan surat keterangan domisili (SKD) oleh wajib pajak luar negeri (WPLN) setelah dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak. Ketiga, hasil dari mutual agreement procedure (MAP)

Untuk dapat menerapkan suatu P3B, terdapat tahap-tahap (step-by-step) yang harus dilakukan. Simak artikel ‘Penerapan P3B dan Persyaratan Administratif’. Di Indonesia, sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat (2) PER-25/2018, untuk dapat mengaplikasikan P3B, WPLN harus menyampaikan SKD sebagai persyaratan administrasi.

Adanya keterlambatan penyampaian SKD oleh WPLN menyebabkan ketentuan di dalam P3B yang bersifat lex-specialis menjadi tidak dapat diterapkan sehingga pemotongan pajak harus mengikuti ketentuan yang diatur di dalam UU PPh.

Misalnya, sesuai ketentuan Pasal 12 P3B Indonesia dan Belanda pembayaran royalti kepada subjek pajak Belanda wajib dilakukan pemotongan PPh sebesar 10% dari jumlah bruto yang dibayarkan. Namun, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan lantaran subjek pajak Belanda tersebut terlambat menyampaikan SKD kepada pemotong pajak sehingga tarif yang digunakan adalah sebesar 20% sesuai Pasal 26 UU PPh.

Atas permasalahan tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah melalui mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, sebagaimana diatur di dalam PMK 187/2015.

Ruang lingkup ketentuan PMK 187/2015, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 mengatur pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang terkait hal-hal sebagai berikut.

Pertama, terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang. Kedua, terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh wajib pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor.

Ketiga, terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut. Keempat, terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak. Kelima, terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri.

Dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut merupakan subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memiliki BUT di Indonesia, sesuai Pasal 19 ayat (1) PMK 187/2015 permohonan dapat diajukan oleh SPLN tersebut melalui BUT di Indonesia. Apabila SPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia, sesuai Pasal 19 ayat (2) PMK 187/2015 permohonan dapat diajukan oleh SPLN tersebut melalui wajib pajak pemotong atau pemungut.

Pengembalian LB atas Kelebihan Potong apabila BPN Telah Disampaikan pada SPT Masa

Permasalahan lainnya adalah pajak yang dipotong lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong selain terkait penerapan P3B. Hal tersebut dapat terjadi karena murni kekhilafan si pemotong atau karena adanya perubahan kesepakatan nilai transaksi para pihak sedangkan pajak terutang sudah terlanjur disetor.

Atas permasalahan tersebut, terdapat dua opsi upaya pengembalian lebih bayar yang dapat dilakukan. Pertama, melalui mekanisme pemindahbukuan (Pbk), sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 PMK 242/2014. Kedua, melalui mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 PMK 187/2015.

Opsi mana yang sebaiknya dilakukan oleh wajib pajak?

Pemindahbukuan (Pbk)

Dalam hal pemotong PPh Pasal 26 telah menyetorkan pajak terutang ke kas negara tetapi jumlah yang disetorkan lebih besar daripada pajak yang terutang di dalam SPT Masa, Pasal 16 ayat (2) huruf ‘f’ PMK 242/2014 dapat dijadikan dasar hukum untuk mengajukan permohonan Pbk.

Namun, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) PMK 242/2014. Pembayaran pajak yang tercantum di dalam bukti penerimaan negara (BPN) dapat diajukan permohonan Pbk apabila pembayaran tersebut belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam SPT.

Pasal ini kerap menjadikan permohonan Pbk ditolak lantaran BPN yang diajukan permohonan Pbk telah dilaporkan di dalam SPT Masa. Salah satu contoh kasusnya dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Pajak No. Put-118582.99/2017/PP/M.XA Tahun 2019 tanggal 21 Januari 2019.

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak di dalam putusan tersebut sama dengan alasan Tergugat yang intinya pembayaran pajak yang tercantum di dalam BPN sudah diperhitungkan dengan pajak yang terutang di dalam SPT Masa yang telah dilaporkan sehingga tidak terjadi kesalahan kelebihan pembayaran dan pelaporan pajak.

Berdasarkan hal tersebut, opsi Pbk tidak dapat dilakukan apabila wajib pajak telah memperhitungkan BPN yang akan diajukan Pbk di dalam pelaporan SPT Masa.

Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

Sebagaimana ruang lingkup di dalam Pasal 2 PMK 187/2015, opsi yang dapat dilakukan oleh wajib pajak apabila tidak dapat mengajukan permohonan Pbk adalah mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Berbeda dengan permohonan Pbk, pihak yang mengajukan permohonan bukan wajib pajak penyetor, melainkan wajib pajak yang dipotong atau dipungut, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 PMK 187/2015.

Dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut merupakan subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, sesuai Pasal 13 ayat (4) PMK 187/2015 permohonan dapat diajukan oleh SPLN tersebut melalui BUT di Indonesia. Apabila SPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia, sesuai Pasal 13 ayat (5) PMK 187/2015 permohonan dapat diajukan oleh SPLN tersebut melalui wajib pajak pemotong atau pemungut.

Penutup

Upaya pengembalian lebih bayar atas kesalahan administrasi dalam pemotongan PPh Pasal 26 dapat berupa permohononan Pbk dan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Permohonan Pbk dapat dilakukan atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 26 yang seharusnya tidak terutang apabila disebabkan oleh kesalahan selain terkait penerapan P3B dan BPN yang akan diajukan Pbk belum disampaikan pada SPT Masa.

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat dilakukan atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 26 yang disebabkan oleh kesalahan penerapan P3B, keterlambatan penyampaian SKD, hasil MAP, dan kesalahan pemotongan selain terkait penerapan P3B dalam hal BPN atas pajak yang disetor telah disampaikan pada SPT Masa.

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 03 April 2024 | 08:00 WIB LITERATUR PAJAK

Hanya 5 Hari! Diskon 40% untuk Buku Pajak dan Langganan Premium

Selasa, 27 Februari 2024 | 17:00 WIB PMK 172/2023

Setelah Dievaluasi, DJP Bisa Batalkan Kesepakatan Harga Transfer (APA)

Selasa, 27 Februari 2024 | 09:30 WIB PMK 172/2023

Meski Sudah Disepakati, APA Bisa Dievaluasi Ditjen Pajak

BERITA PILIHAN