ANALISIS PAJAK

Menjawab Pemenuhan HAM melalui Pajak

Rabu, 25 September 2019 | 15:15 WIB
Menjawab Pemenuhan HAM melalui Pajak

Dwina Karina,
DDTC Consulting

BICARA tentang hak asasi manusia (HAM), maka kita teringat Pasal 5 The Charter of United Nations. Pasal itu menyebut kalimat ‘universal respect for, and observance of, human rights and fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion.’

Artinya, HAM berlaku bagi setiap orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Hal ini karena HAM adalah sesuatu yang inheren atau melekat dalam diri setiap manusia dan setiap orang berhak mendapatkan penjaminan dan perlindungan atas hak asasinya tersebut.

Lalu, di mana korelasi antara HAM dan pajak? Ketika mendengar kata pajak, satu hal yang terlintas ialah cara negara mendapatkan uang untuk membiayai keperluannya dan menjaga keberlangsungan serta menambah kemakmurannya. Lantas, mengapa negara harus melakukan ini?

Negara, menurut Pasal 1 Montevideo Convention, memiliki penduduk, dalam artian manusia, yang selain memiliki kewajiban juga hak yang perlu dilindungi. Seperti dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah menjamin kesejahteraan manusia di dalamnya.

HAM yang terkait dengan pajak adalah hak sosio-ekonomi dan hak hidup layak, termasuk hak atas kepemilikan (Brokelind, 2011). Hal ini terlihat dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Cakupan hak hidup layak ini adalah sandang, pangan, papan.

Sebagai anggota kovenan HAM, Indonesia wajib memastikan warga negaranya menjalani kewajiban perpajakannya dengan benar untuk menjamin pemenuhan HAM-nya, yaitu memiliki hidup yang layak (Warris, 2013). Berangkat dari prinsip pacta sunt servanda, Indonesia juga terikat dengan kewajiban yang sama untuk mengikuti apa yang sudah diperjanjikannya.

Sebelum Indonesia menjadi anggota kovenan hak asasi, Pembukaan UUD 1945 telah eksplisit menyebut salah satu tujuan negara, yaitu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Penjaminan HAM ini bukan sekadar kewajiban politik akibat kovenan, melainkan kewajiban hukum yang hakiki.

Sayang, meski beberapa tahun ke belakang perekonomian Indonesia menuju ke arah yang lebih baik, kesenjangan ekonomi belum sepenuhnya tereradikasi. Masih banyak ditemui orang kalangan bawah kesulitan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer mereka sehari-hari.

Jadi, yang menjadi pertanyaan berikutnya, apa yang bisa dilakukan negera untuk memenuhi kewajiban tersebut, tetapi pada saat yang sama tetap menjaga keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat dan menjamin HAM setiap warga negaranya terlindungi?

Pajak Orang Kaya
MENILIK salah satu strategi negara untuk membiayai belanja negara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat berupa pengetatan pajak masyarakat golongan atas, kita bisa menguji apakah benar strategi itu dapat efektif dilakukan untuk membantu menjawab kesenjangan tadi.

Dilansir dari salah satu berita dalam portal DDTCNews, baru-baru ini Korea Selatan meresmikan kebijakan untuk memajaki warisan. Kebijakan ini memiliki efek yang cukup signifikan pada konglomerat-konglomerat di negara Ginseng tersebut.

Terdengar cukup menarik diterapkan di Indonesia, mengingat warisan bukan merupakan objek pajak. Namun, kebijakan itu bisa dikatakan pisau bermata dua karena bisa sukses memperkecil kesenjangan, tetapi juga bisa mematikan perekonomian jangka panjang.

Misalnya karena orang-orang kaya di sana lebih memilih mengalihkan usahanya ke negara yang tidak memberlakukan pajak warisan. Bagaimana jika pajak warisan ini diterapkan di Indonesia? Kebijakan ini tentu membutuhkan pengkajian lebih lanjut untuk diterapkan.

Seperti pada 2016, Indonesia mengeluarkan kebijakan tax amnesty yang diharapkan dapat secara signifikan membantu perekonomian negara. Apakah strategi ini berhasil? Beragam pendapat bermunculan. Yang pasti, kebijakan ini masih dapat dikatakan mendapat respons positif.

Majalah InsideTax Volume Edisi 30, April 2015, dengan judul ‘Menyasar Pajak Orang Kaya’ secara ekstensif mengulas serba-serbi tentang pemajakan orang kaya atau yang dikenal dengan sebutan High Net Worth Individual dan High Income Individual—kaum elit dari aspek ekonomi.

Mungkin ke depan, pemerintah perlu mengoptimalkan pendapatan dengan lebih mengetatkan pemajakan para HWI ini. Pengetatan ini dalam artian otoritas pajak memantau dengan lebih seksama agar tidak terjadi aggressive tax planning maupun tax evasion yang merugikan negara.

Negara perlu menyusun berbagai macam strategi untuk mengoptimalkan pendapatan agar pembangunannya dapat berjalan lancar. Namun, harus digarisbawahi bahwa pembangunan itu tidak hanya untuk golongan tertentu saja, tetapi untuk seluruh rakyatnya,

Sejatinya, apabila di kemudian hari timbul peraturan perpajakan yang baru dan terasa menyudutkan golongan tertentu, isu ini semata-mata karena adanya kebutuhan negara untuk mengoptimalkan penerimaaan pajak demi kepentingan bersama tanpa ada maksud merugikan kaum tertentu.

Negara hanya menjalankan kewajibannya untuk menjamin dan melindungi HAM rakyatnya agar mendapatkan penghidupan layak. Namun, perlu dicatat, ketentuan pemajakan yang terlalu agresif dan kompleks akan menjadi pisau bermata dua, seperti pajak warisan di Korea Selatan*.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 19 April 2024 | 14:30 WIB PAJAK SEKTOR PERTAMBANGAN

Objek Pajak Penghasilan/PPh di Sektor Pertambangan, Apa Saja?

BERITA PILIHAN