LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Menentukan Titik Efektif Pengenaan Pajak Karbon

Redaksi DDTCNews | Selasa, 17 Agustus 2021 | 11:00 WIB
Menentukan Titik Efektif Pengenaan Pajak Karbon

Hafidh Nadhor Tsaqib,
Ponorogo, Jawa Timur

PANDEMI Covid-19 berdampak pada kinerja fiskal. Shortfall – selisih kurang realisasi dan target – penerimaan pajak yang tidak terhindarkan. Pada saat bersamaan, ada kebutuhan belanja negara yang cukup besar. Alhasil, defisit anggaran menjadi di atas 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Selain tingginya beban anggaran Covid-19, Indonesia juga memiliki komitmen dalam Paris Agreement yang bertujuan memperkuat respons global terkait dengan perubahan iklim. Komitmen ini diratifikasi dalam Undang-Undang 16/2016.

Komitmen pengurangan emisi karbon tersebut terangkum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam NDC, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi karbon hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan eksternal pada 2030.

Berdasarkan pada Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), tingkat emisi GRK mencapai 1.866.552 GgCO2e pada 2019. Tingkat emisi tersebut mengalami peningkatan 57% dibandingkan dengan capaian pada 2000.

Ditambah lagi, berdasarkan pada Laporan Kualitas Udara Dunia 2020, Indonesia menempati peringkat ke-9 dunia dalam hal kualitas udara terburuk dengan nilai indeks 40,7. Hal ini diperparah dengan posisi Indonesia yang menduduki peringkat ke-4 dunia sebagai negara yang banyak kehilangan elemen pengendali emisi, yaitu hutan primer (Weisse & Goldman, 2021).

Oleh karena itu, Indonesia memang memerlukan kebijakan yang mampu berperan dalam pengendalian iklim. Hal ini mengingat angka kehilangan hutan primer yang tinggi sekaligus ada kebutuhan dari sisi penerimaan dalam rangka pemulihan ekonomi.

Pajak karbon, yang merupakan pungutan pada aktivitas ekonomi penghasil emisi, dinilai mampu menjadi solusi atas permasalahan emisi dan shortfall penerimaan pajak. Masuknya kebijakan pajak karbon dalam rancangan revisi Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi angin segar.

Melalui pajak karbon, emisi justru terlihat sebagai peluang, bukan ancaman. Pasalnya, dengan rata-rata emisi tahunan sekitar 1,5 miliar ton CO2e, Indonesia dapat meraup keuntungan hingga Rp237,3 triliun setiap tahunnya. Estimasi ini menggunakan asumsi tarif rerata dunia.

Oleh karena itu, penerimaan ini dapat membiayai investasi energi terbarukan Indonesia sebesar Rp535 triliun dalam dua tahun atau berkontribusi 35% dari pembiayaan dampak Covid-19. (Ditjen EBTKE, 2019).

Dalam penerapan pajak karbon, perlu ditentukan batasan objek seperti sektor dan tingkat pengenaan agar efisien serta tepat sasaran. Berdasarkan pada profil emisi GRK nasional 2000 – 2018, sektor energi menjadi penyumbang emisi dominan dengan rata-rata 552.676 GgCO2e atau 66% setiap tahunnya (Dewan Energi Nasional, 2019).

Asas kemudahan administrasi menjadi aspek yang harus diperhatikan dalam menentukan sektor yang dipajaki. Perbandingan biaya pemungutan dan penerimaan sektor pertanian, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah yang tidak signifikan menyumbang emisi harus dipertimbangkan.

Level Midstream

SEKTOR energi memiliki tingkatan proses bisnis yang dijalankan. Mulai seperti hulu (upstream), hilir (downstream), serta antara hulu dan hilir (midstream). Dengan demikian, pengenaan pajak seharusnya hanya pada satu titik untuk menghindari pajak berganda.

Terdapat rasionalisasi pajak karbon seharusnya diterapkan pada titik yang mendekati konsumen akhir (downstream) sebagai penghasil emisi sebenarnya. Namun, pemajakan di level downstream justru akan menyulitkan pengawasan otoritas pajak karena jumlah entitasnya, terutama di Indonesia, lebih banyak.

Sebagai contoh, salah satu fasilitas pada level downstream yaitu kendaraan. Pada 2018, jumlah kendaraan mencapai 126.508.776 unit (BPS, 2018). Hal tersebut berbeda dengan level upstream yang hanya memiliki fasilitas terbanyak berupa sumur minyak dan gas bumi sebanyak 259 unit pada 2018 (Kementerian ESDM, 2018).

Namun, terdapat titik tengah di antara dua level tersebut yaitu midstream. Jumlah entitasnya lebih sedikit, yaitu 34 unit badan usaha pengolahan migas dan 6 unit kilang minyak. Berkaca pada asas efisiensi, level ini memiliki cost of collection yang lebih rendah karena entitas yang dipajaki lebih sedikit.

Di sisi lain, dibandingkan dengan level upstream, level midstream lebih mendekati konsumen akhir sebagai penghasil emisi sebenarnya. Oleh karena itu, level ini tepat untuk dikenakan pajak karbon karena lebih efisien dibandingkan dengan level upstream serta cukup mendekati konsumen akhir.

Bagaimanapun, defisit pengeluaran akibat pandemi serta komitmen pengurangan emisi yang terangkum dalam NDC menjadi beban tersendiri bagi Indonesia. Oleh karena itu, pajak karbon dinilai mampu mengubah pesimisme emisi di Indonesia menjadi harapan atas beban defisit dan komitmen NDC.

Namun, penerapannya harus dikenakan pada sektor dan level yang tepat. Aspek tersebut menjadi krusial agar penerapan pajak karbon menjadi pengurai permasalahan emisi, bukan menimbulkan masalah baru bagi pemerintah.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

19 Agustus 2021 | 16:34 WIB

wow insighful 👍

18 Agustus 2021 | 18:49 WIB

Menarik nih

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 24 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT Jasa Perhotelan di UU HKPD?

Rabu, 24 April 2024 | 17:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Awasi WP Grup, DJP Bakal Reorganisasi Kanwil LTO dan Kanwil Khusus

Rabu, 24 April 2024 | 17:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Urus NTPN Hilang? Ini Beberapa Solusi yang Bisa Dilakukan Wajib Pajak

BERITA PILIHAN