LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Mencermati Pajak Penghasilan Pengguna Platform Sharing & Gig Economy

Redaksi DDTCNews | Rabu, 12 Oktober 2022 | 11:35 WIB
Mencermati Pajak Penghasilan Pengguna Platform Sharing & Gig Economy

Muhammad Rifky Santoso,
Medan, Sumatra Utara

SHARING economy adalah aktivitas ekonomi yang berjalan dengan skema berbagi aset yang tidak digunakan pemiliknya. Contoh, penyewaan kamar atau akomodasi. Penggunaan barang dan jasa melalui sebuah platform online. Pemilik aset dan penyedia platform adalah pihak yang berbeda.

Kemudian, gig economy adalah aktivitas ekonomi yang berjalan dengan skema mempekerjakan tenaga kerja lepas atau freelance. Kontrak kerja ini juga dilakukan secara online melalui platform. Pekerjaan ini punya fleksibilitas, baik tempat maupun waktu. Contoh, taksi online.

Kedua aktivitas ekonomi tersebut tentu mempunyai potensi pajak. Namun, pada kenyataannya, sangat sulit bagi negara untuk memperoleh pendapatan pajak dari kedua aktivitas itu. Pada dasarnya, perlu diperjelas dahulu tentang peraturan pengenaan pajak yang berkaitan dengan kedua aktivitas itu.

Kita ambil contoh ketika pemilik tanah dan/atau bangunan mendapatkan penghasilan dari sharing economy, yang perlu dipastikan adalah apakah pengenaan PPh-nya secara final atau tidak. Bila tanpa platform online, seperti Airbnb, penghasilannya dikenakan PPh secara final.

Namun, bila aset tersebut disewakan melalui platform, muncul pertanyaan apakah dikenakan pajak secara final atau dengan tarif normal? Dengan alasan jenis usaha ini mirip perhotelan maka pajaknya bisa dikenakan dengan tarif normal.

Status Wajib Pajak

SELAIN pengenaan PPh, penentuan status wajib pajak juga sangat penting. Hal ini dikarenakan status tersebut berhubungan dengan penentuan besaran penghasilan kena pajak dan pelaporan pajak. Bila hal ini sudah jelas, otoritas pajak akan mudah untuk meningkatkan kepatuhan.

Contoh, atas penghasilan dari taksi online, PPh bisa dikenakan kepada pemilik mobil, sopir, atau pemilik mobil merangkap sopir. Jika pemilik mobil merangkap sopir, pertanyaan yang muncul mengenai penentuan status sebagai karyawan tidak tetap, partner, atau pemilik usaha.

Sama halnya ketika penulis freelance pada platform menerima imbalan atas tulisannya. Bagaimana statusnya? Apakah sebagai tenaga ahli, pegawai tidak tetap, atau pekerjaan bebas? Ditjen Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak di Indonesia harus bisa menentukan status wajib pajak ini.

Pada umumnya, wajib pajak orang pribadi (WP OP) yang menerima penghasilan dari sharing and gig economy bukan seorang karyawan. Hal ini dikarenakan WP OP itu mempunyai fleksibilitas yang tinggi. Selain itu, tidak ada kontrak kerja yang menjelaskan WP OP sebagai karyawan.

Berdasarkan pada kondisi tersebut, WP OP ini bisa dikategorikan sebagai pemilik usaha atau business owner (Thomas, 2018). Pengenaan pajaknya bisa menggunakan pekerjaan bebas dan usaha lainnya, seperti persewaan aset dan penyedia jasa.

Untuk kelompok penghasilan dengan pengenaan PPh final, WP OP tinggal mengikuti ketentuan dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang sudah ditentukan. Misalnya, pengenaan PPh final sewa bangunan atau penghasilan berdasarkan pada peredaran tertentu (PP 23/2018).

Namun demikian, jika penghasilan masuk kelompok yang dikenai PPh dengan tarif umum, DPP-nya juga berbeda. PPh dikenakan terhadap penghasilan kena pajak, yakni penghasilan bruto dikurangi dengan pengeluaran atau biaya yang diperbolehkan menurut peraturan perpajakan.

Misalnya, WP OP menyewakan kamar untuk akomodasi melalui beberapa platform online. Apakah ini termasuk jasa perhotelan atau sewa bangunan? Oleh karena itu, perlu penegasan dari DJP jika terdapat keraguan seperti ini.

Untuk memudahkan, penghasilan dari sewa tersebut disarankan untuk mendapat pengenaan PPh final. Bila dikenakan PPh final maka perlu dijelaskan mengenai dasar penghitungan PPh-nya, apakah dari pembayaran bruto dari konsumen atau bagian yang diterima pemilik aset.

Kepatuhan dan Persepsi atas Pajak

SELAIN berbagai aspek mengenai skema pengenaan PPh, salah satu faktor penting yang juga perlu diperhatikan adalah terkait dengan pelunasan. Pelunasan pajak terutang bisa dilakukan dengan skema mandiri (pembayaran sendiri oleh WP OP) atau skema withholding.

Risiko kepatuhan WP pada skema pembayaran sendiri lebih besar dibandingkan dengan sistem withholding. Jika pemberi penghasilan merupakan WP dalam negeri dan pemotong PPh, risiko WP OP kurang bayar akan kecil dibandingkan apabila pemberi penghasilan bukan WP dalam negeri.

Oleh karena itu, dalam konteks sharing and gig economy, DJP perlu fokus pada cara meningkatkan kepatuhan pelunasan PPh terutang yang dilakukan dengan skema pembayaran sendiri.

Bornman & Wessels (2019) menjelaskan kepatuhan pajak individu yang melakukan sharing economy dipengaruhi persepsi peluang yang ada, pengetahuan perpajakan, keputusan yang dibuat, dan orangnya itu sendiri.

Hasil penelitian Hamid et al. (2020) terhadap sopir pada perusahaan transportasi online di Malaysia menjelaskan kepatuhan pajak dipengaruhi oleh pengetahuan pajak dan sikap. Adapun sikap ini dipengaruhi lingkungan dan kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, terdapat satu faktor utama yang memengaruhi kepatuhan, yaitu persepsi WP terhadap pajak. Persepsi ini bisa dipengaruhi oleh pengetahuannya (baik tentang pajak atau lainnya), kebijakan yang dibuat pemerintah, lingkungannya, dan hasil kerja pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya mengarahkan agar WP OP ini mempunyai persepsi pentingnya pajak dan mudahnya pembayaran pajak. WP OP ini juga harus memiliki kebanggaan dengan kontribusinya melalui pembayaran pajak.

Berikan persepsi kepada WP bahwa di negara ini telah terwujud keadilan pajak (Nasution et al., 2020), sistem yang ada sudah baik (Onu et al., 2019), dan pemerintah bisa memberikan sesuatu kepada masyarakat (Areo et al., 2020).

Persepsi yang baik terhadap pajak juga harus didukung dengan pengetahuan perpajakan. Adapun pengetahuan yang sebaiknya diketahui WP adalah pengetahuan umum mengenai perpajakan, prosedur perpajakan, dan peraturan pajak (Bornman & Ramutumbu, 2019).

Penyampaian pengetahuan ini sebaiknya dilakukan melalui kerja sama antara DJP dan pemerintah daerah (Peprah et al., 2020). Kerja sama ini juga bisa sebagai sarana menyampaikan tentang isu-isu insentif pajak, pembebasan pajak, kepentingan umum membayar pajak, dan pemanfaatan pajak.

Dengan demikian, dapat disimpulkan, peraturan di Indonesia mengenai penerapan PPh bagi WP OP yang mendapat penghasilan dari sharing dan gig economy sudah ada. Hal yang perlu dibenahi adalah bagaimana WP OP ini dengan sadar mau melunasi PPh terutang melalui pembayaran sendiri.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 28 Maret 2024 | 17:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Punya Reksadana dan Saham, Gimana Isi Harga Perolehan di SPT Tahunan?

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Cashback Jadi Objek Pajak Penghasilan? Begini Ketentuannya

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:31 WIB PENGAWASAN PAJAK

Data Konkret akan Daluwarsa, WP Berpotensi Di-SP2DK atau Diperiksa

BERITA PILIHAN