PEPATAH lawas itu menjadi populer di kalangan pemerhati keuangan negara, setelah pada 2007 Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Amerika Serikat David M. Walker, mengutipnya dalam makalah berjudul The Evolving Role of Supreme Audit Institutions in Adressing Fiscal and Other Key Sustainability Challenges.
Dalam makalah yang dipresentasikan di hadapan para auditor BPK Jepang (Board of Audit of Japan) itu dia ingin menunjukkan betapa serangan politik yang diarahkan ke badan audit negara, atas rekomendasi dan prediksi yang dihasilkan berdasarkan hasil pemeriksaan, adalah sesuatu yang lumrah alias biasa saja.
Menurut Walker, politisi memang sering tidak berpikir jangka panjang. Apalagi di negara dengan tingkat kompetisi politik yang tinggi seperti AS, banyak politisi hanya melihat problem dengan perspektif jangka pendek, sesuai kebutuhan dan tuntutan konstituen atau basis pemilihnya masing-masing.
“Many can't see beyond the next election,” kata Kepala BPK AS (Comptroller General of the United States/ Director of Government Accountability Office/ GAO) 1998-2008 ini.
Dan AS, ungkap Walker, adalah contoh bagus untuk situasi itu. Pada 2001, akibat serangan ke Menara Kembar World Trade Center, AS memulai perang melawan terorisme. Invasi ke Afganistan, yang bahkan dilanjutkan dengan invasi ke Irak, adalah program yang bertitik tolak dari serangan tersebut.
Di dalam negeri, para politisi AS mendapatkan banyak dukungan dari publik dalam perang itu. Tapi lembaga audit tidak boleh larut dalam keriuhan politik. Gara-gara proyek ‘perang melawan teror’, kata Walker, AS mendadak berubah dari negara yang mengalami surplus anggaran menjadi defisit.
Tidak tanggung-tanggung, pada 2006, defisit anggaran AS mencapai US$450 miliar, atau setara dengan Rp5.902 triliun. Apabila hal itu diteruskan, ketahanan fiskal AS dipastikan akan terguncang. Belum lagi menghitung beban membayar pensiun, jaminan kesehatan, tunjangan veteran perang dan sebagainya.
Maka itu, GAO pun mengeluarkan rekomendasi dan prediksi, yang intinya harus ada perubahan dalam kebijakan fiskal, meski negara lagi dalam kondisi perang. Jika tidak, 10 tahun ke depan AS terpaksa akan membebani pajak lebih tinggi kepada warganya, atau memotong drastis anggaran dan subsidi sosial.
Tentu tidak mudah menyuarakan pendapat tidak populer semacam itu. Apalagi di tengah situasi politik yang masih kuat didominasi oleh nasionalisme AS pasca-serangan WTC. Karena itu, menurut Walker, ia pun sering dihantam oleh anggota Kongres AS, yang tidak suka mendengar pendapat GAO.
Situasinya menjadi lebih kompleks, karena di AS, secara struktural GAO berada di bawah dan ada di dalam atau menjadi unit dari Kongres, bukan terpisah dan independen seperti BPK di Indonesia atau negara lain. Kalau Walker tidak ambil pusing, bisa jadi jabatannya yang jadi pertaruhan.
Atas persoalan seperti itu, solusi Walker sederhana saja. Menurutnya, serangan politik kepada badan audit negara adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan bisa dibilang, salah satu job description kepala badan audit negara adalah merasakan ‘panasnya’ serangan politik itu. Jadi, tidak perlu terlalu dirisaukan.
Sebab, menganalisis kebijakan secara jangka panjang, dan menyampaikan hasilnya secara jujur ke para pembuat kebijakan, selalu mempunyai risiko. Justru yang tidak boleh terjadi, menurut Walker, adalah saat badan audit negara diam untuk menghindari ‘panasnya’ serangan politik dari pihak-pihak yang tidak suka.
Tanpa tedeng aling-aling, pendiri dan CEO Comeback America Initiative ini menyebut badan audit negara yang cenderung diam karena mencari aman, badan audit negara yang tidak menyampaikan hasil auditnya secara jujur dan terbuka kepada pemerintah, berarti telah diisi oleh orang-orang yang salah.
“If you can't stand the heat, get out of the kitchen,” katanya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.