ANTARA RELAKSASI & MOBILISASI

Ini Materi Konpers DDTC Fiscal Research Soal Tantangan & Outlook Pajak

Redaksi DDTCNews | Jumat, 13 Desember 2019 | 21:20 WIB
Ini Materi Konpers DDTC Fiscal Research Soal Tantangan & Outlook Pajak

Suasana konferensi pers. 

JAKARTA, DDTCNews – Hari ini, Jumat (13/12/2019) DDTC Fiscal Research menyelenggarakan konferensi pers bertajuk 'Tantangan & Outlook Pajak 2020: Antara Relaksasi & Mobilisasi' di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat.

Konferensi pers ini terkait dengan hasil kajian terbaru DDTC Fiscal Research terkait proyeksi penerimaan 2020 dan beberapa aspek yang perlu diantisipasi dalam jangka lima tahun mendatang. Kajian ini juga masuk dalam InsideTax edisi ke-41 dengan tema besar ‘Antara Relaksasi & Mobilisasi’. Tema besar ini sangat relevan untuk melihat arah kebijakan pajak dalam lima tahun mendatang di bawah pemerintahan Kabinet Indonesia Maju.

Berikut materi konferensi pers yang disampaikan oleh Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dan Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro tersebut.

Baca Juga:
Pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara Masuk Draf RKP 2025

Kinerja 2019

Menutup 2019, kinerja pajak Indonesia hampir pasti jauh dari harapan. Ancaman resesi global–khususnya pertumbuhan ekonomi negatif secara berulang di negara-negara yang size ekonominya terhadap ekonomi global cukup besar bukan isapan jempol. Permintaan global yang menurun telah membuat negara yang berbasis ekspor ‘kelimpungan’. Perang dagang bukan lagi ancaman, tapi mulai menjadi kenyataan. Imbasnya, global supply chain terganggu.

Sayangnya, hal ini tidak direspons secara cepat pada semester I/2019. Faktor pemilu agaknya jadi alasan. Pemilu yang diadakan pada April secara tidak langsung telah mengurangi ruang improvisasi pemerintah dalam pemungutan pajak. Upaya untuk menghindari kegaduhan dan menjamin kondusivitas situasi politik menjadi ‘tema besar’ agenda pemerintahan di triwulan pertama 2019. Selain itu, adanya pemilu membuat perilaku untuk wait and see.

Baca Juga:
Pemerintah Bidik Tax Ratio 11,2-12 Persen pada 2025

Memang benar bahwa masih ada beberapa persoalan fundamental dari sektor pajak di Indonesia– seperti tingginya sektor informal, kelembagaan, struktur penerimaan yang rentan goncangan, dan sebagainya– tetapi secara singkat kondisi penerimaan pajak 2019 diakibatkan oleh kondisi ekonomi dan situasi politik.

DDTC Fiscal Research memproyeksikan bahwa dalam situasi yang tergolong ‘normal’ penerimaan pajak sesungguhnya dapat berkisar antara Rp1.361 hingga Rp1.398 triliun. Artinya, penerimaan pajak akan berada di kisaran 86,3% hingga 88,6% terhadap target sebesar Rp.1577,6 triliun. Namun, dalam skenario terburuk, DDTC Fiscal Research memprediksi penerimaan hanya akan mencapai 83,5% dari target atau shortfall sekitar Rp259 triliun.

Dalam waktu yang tinggal sebulan, prinsip bahwa upaya berlebihan dalam mengurangi shortfall tidak perlu diutamakan. Artinya, justru jangan sampai mengorbankan kepercayaan dari wajib pajak (orientasi jangka panjang) untuk sekedar mengejar penerimaan (orientasi jangka pendek).

Baca Juga:
Jadi Panutan Wajib Pajak, ASN di Kota Ini Diminta Patuh Bayar Pajak

Hal yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan informasi untuk meningkatkan kepatuhan maupun mempersiapkan diri menghadapi berbagai tantangan yang tidak kalah berat baik untuk 2020 maupun selama 5 tahun mendatang. Apalagi, pemerintah berencana memberikan sejumlah relaksasi pajak.

Tantangan Jangka Menengah

Secara umum, tantangan selama 5 tahun mendatang adalah upaya meningkatkan tax ratio di tengah situasi ekonomi yang kurang menguntungkan. Peningkatan tax ratio merupakan sesuatu yang bersifat urgen mengingat tingginya kebutuhan pendanaan pembangunan baik dalam rangka target RPJMN 2020-2024 maupun menjamin terpenuhinya target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

Baca Juga:
Bisa Tambah Penerimaan Pajak, Menaker Ini Usul Kasino Dilegalkan

Selain itu, ada enam area yang sepertinya akan menjadi pokok pembahasan rezim pajak selama 5 tahun mendatang. Pertama, membangun kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk memanfaatkan bonus demografi. Dari sisi pajak, bonus demografi akan mendorong berbagai insentif untuk menciptakan lapangan kerja, konektivitas antara dunia pendidikan dan dunia kerja, kegiatan penelitian dan pengembangan, edukasi, dan sebagainya. Bonus demografi juga mendorong kita untuk meningkatkan kepatuhan atas pajak penghasilan orang pribadi.

Kedua, upaya mendorong daya saing harusnya fokus pada menciptakan kepastian bagi wajib pajak. Mayoritas negara menerjemahkan competitiveness tersebut melalui perubahan kebijakan pajak, baik tarif, insentif, maupun perubahan sistem. Namun, hal yang kerap diabaikan adalah daya saing bukanlah semata-mata soal kebijakan relaksasi, tetapi juga memberikan kepastian bagi wajib pajak yang sudah ada (existing) dan calon investor.

Kepastian sendiri dapat diwujudkan melalui sistem pajak yang bisa diprediksi dan stabil, pencegahan dan penyelesaian sengketa yang efektif, penghormatan hak wajib pajak, paradigma cooperative compliance, dan sebagainya.

Baca Juga:
Ditjen Pajak Kumpulkan Rp 1,82 Triliun dari Pinjol dan Fintech

Ketiga, omnibus law dan revisi UU di bidang pajak. Dalam hal ini, omnibus law haruslah dipandang sebagai bagian dari pembenahan ekonomi secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan. Artinya, upaya untuk membenahi persoalan ekonomi sejatinya tidak hanya dibebankan kepada sektor pajak, tetapi juga pembenahan infrastruktur, reformasi birokrasi, penciptaan lapangan pekerjaan, kebijakan moneter, kestabilan politik, hukum, dan keamanan, sinkronisasi dengan iklim investasi daerah, dan sebagainya.

Instrumen pajak bukanlah satu-satunya obat mujarab untuk persoalan ekonomi, tetapi harus dilakukan bersamasama dengan instrumen kebijakan lainnya. Asumsi bahwa adanya relaksasi akan mendorong ekonomi hanya akan berpengaruh secara signifikan jika dibarengi dengan kerja sama dan gotong royong dari sektor lainnya. Perjuangan untuk menempatkan pajak dalam pusaran agenda pembangunan nasional harus dimulai. Pendulum yang lebih banyak berpihak kepada relaksasi harus diimbangi dengan upaya menjamin partisipasi membayar pajak.

Hal yang perlu diwaspadai justru mengenai dampaknya bagi perilaku wajib pajak dan penerimaan jangka pendek. Pemerintah perlu mempersiapkan skenario pendukung guna menjamin bahwa omnibus law tersebut akan berpengaruh secara signifikan bagi ekonomi tanpa mengganggu penerimaan tahun berjalan.

Baca Juga:
‘Kami Punya Bank Potensi untuk Gali Potensi Pajak dari Beragam Sektor’

Oleh karena itu diperlukan strategi baru yang dinamakan Relaksasi-Partisipasi. Artinya, relaksasi pajak harus dilakukan secara bersyarat dan mengharapkan timbal balik secara langsung berupa partisipasi masyarakat dalam sistem pajak (ekonomi). Penting untuk digarisbawahi bahwa relaksasi dalam sistem pajak mencakup hukum, kebijakan, dan/atau administrasinya.

Strategi Relaksasi-Partisipasi bisa diterapkan melalui empat hal yaitu 1) relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ partisipasi wajib pajak untuk menggerakkan perekonomian, 2) relaksasi yang dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk memberikan data dan informasi, 3) relaksasi dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk patuh, serta 4) relaksasi yang dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk berkontribusi dalam pembayaran pajak.

Strategi Relaksasi-Partisipasi sebaiknya dilakukan dalam konteks pembaruan sistem pajak yang mencerminkan lima aspek, yaitu paradigma kepatuhan kooperatif, kebijakan pajak yang stabil dan partisipatif, transparansi, simplifikasi sistem pajak, serta dukungan teknologi informasi yang mumpuni.

Baca Juga:
Pemkot Semarang Perpanjang Diskon PBB-P2 10 Persen

Selain itu, strategi tersebut memerlukan kelembagaan otoritas pajak yang kuat, inklusi pajak berkesinambungan, serta kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan, seperti akademisi, pengadilan pajak, konsultan pajak, instansi pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan sebagainya. Kunci keberhasilannya juga sangat tergantung pada komitmen dan kepemimpinan politik.

Keempat, kehadiran teknologi informasi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Kehadiran teknologi informasi juga akan turut mengubah proses bisnis dalam organisasi Ditjen Pajak sekaligus wajib pajak. Dunia pajak yang semakin transparan sepertinya juga akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari hadirnya teknologi informasi tersebut.

Kelima, desain pajak bagi hadirnya sumber alternatif pertumbuhan ekonomi. Bayang-bayang resesi global akan mendorong kebutuhan atas hadirnya sektor-sektor baru yang bisa menjamin daya tahan ekonomi nasional, seperti pariwisata, keuangan syariah, dan sektor digital. Ketiganya juga tidak bisa dipisahkan dari peran UMKM. Meskipun membutuhkan suatu rezim pajak yang bisa menjamin perkembangannya, sektor-sektor tersebut akan menciptakan basis pajak baru sekaligus mengharuskan adanya strategi pemungutan pajak yang efektif bagi UMKM.

Baca Juga:
Ada Momentum Lapor SPT Tahunan, Realisasi PPh OP Masih Tumbuh Melambat

Keenam, adanya tantangan lanskap pajak internasional yang berubah. Tantangan tersebut akan terlihat dari solusi mengenai pajak digital, tantangan koordinasi pajak global, serta resolusi sengketa pajak internasional. Seluruh hal-hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah ketentuan domestik Indonesia.

Outlook 2020

Berdasarkan APBN 2020, pendapatan negara dipatok di angka Rp2.233,2 triliun. Pendapatan terdiri atas penerimaan pajak sebesar Rp1.642,6 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp223,1 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp367 triliun dan hibah sebesar Rp0,5 triliun. Belanja pemerintah sendiri dianggarkan sebesar Rp2.504 triliun. Defisit anggaran ditargetkan sebesar Rp307,2 triliun atau sekitar 1,76% terhadap Produk Domestik Bruto.

Baca Juga:
Hingga 25 Maret, DJP Jakarta Khusus Kumpulkan Pajak Rp 53 Triliun

Secara umum, APBN 2020 bisa dinyatakan lebih berorientasi pada upaya menjaga kestabilan di tengah ketidakpastian ekonomi. Lantas, bagaimana situasi pajak pada 2020? Rezim relaksasi pajak agaknya masih terus akan berlanjut. Fokus utamanya terletak pada pembahasan dan pengesahan omnibus law ketentuan dan fasilitas pajak untuk penguatan perekonomian bersama DPR di 2020.

Satu hal yang pasti, omnibus law dan berbagai relaksasi pajak akan menyebabkan terbatasnya pilihan-pilihan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Penundaan revisi UU KUP, PPh, dan PPN yang hakikatnya bisa menjadi ‘senjata’ untuk mengurangi tax gap secara komprehensif menegaskan hal tersebut. Kendati demikian, keterbatasan ruang untuk meningkatkan penerimaan justru diharapkan akan memantik improvisasi dan terobosan baru. Terobosan sebaiknya dimulai pada 2020 sebelum berlakunya omnibus law pada 2021.

Dengan mempertimbangkan penerimaan pajak 2019 yang memiliki shortfall tinggi, situasi ekonomi, serta strategi pajak yang akan dilakukan ke depan, DDTC Fiscal Research memprediksi bahwa penerimaan pajak di 2020 akan berkisar antara Rp1.431 triliun hingga Rp1.462 triliun. Artinya, realisasi penerimaan hanya berkisar antara 87,1% hingga 89,0% dari target. Penerimaan pajak diperkirakan hanya akan tumbuh antara 8,4% hingga 10,9% dari realisasi 2019.

Baca Juga:
Februari 2024, DJP Jakbar Sudah Kumpulkan Pajak Rp 10 Triliun

Mempertimbangkan potensi risiko fiskal dari tidak tercapainya target, ada baiknya pemerintah merevisi target tersebut sehingga lebih realistis dan mencerminkan situasi ekonomi yang melambat. Dari sisi administrasi, risiko shortfall 2020 juga perlu diantisipasi terutama dengan strategi memperluas basis pajak.

Menariknya, beberapa rencana yang sudah mulai didengungkan pada akhir 2019 seperti membentuk lebih banyak KPP Madya, strategi ekstensifikasi per wilayah, maupun penerapan compliance risk management secara strategis dan terukur merupakan terobosan yang punya prospek baik. (kaw)



Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

15 Desember 2019 | 23:14 WIB

#MariBicara : kepatuhan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar pajak dipengaruhi, antara lain oleh kepastian/penerimaan. kepastian hukum tentang jumlah, waktu, dan cara pembayaran di satu sisi, dan manfaat, langsung dan tidak langsing yang akan dirasakannya atas sejumlah uang yang mereka bayarkan kepada nehara sebagai pajak di sisi lainnya. edukasi dan sosialisasi harus terus dilakukan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi.

15 Desember 2019 | 23:07 WIB

Kepatuhan wajib pajak dalam menunaikan kewajibannya sangat dipengaruhi oleh, antara lain, penerimaan/kepastian. kepastian hukum tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran di satu sisi, dan kepastian akan manfaat, langsung atau tidak langsung atas sejumlah uang yang mereka bayarkan kepada negara sebagai pajak, di siai lainnya.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara Masuk Draf RKP 2025

Kamis, 18 April 2024 | 15:37 WIB PENERIMAAN PAJAK

Pemerintah Bidik Tax Ratio 11,2-12 Persen pada 2025

Senin, 08 April 2024 | 11:30 WIB KOTA PEKANBARU

Jadi Panutan Wajib Pajak, ASN di Kota Ini Diminta Patuh Bayar Pajak

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan