RASIONALISASI PAJAK DAERAH

Ditarik ke Pusat atau Tetap di Daerah? Tulis Komentar & Raih HP-nya

Redaksi DDTCNews | Senin, 16 Desember 2019 | 20:24 WIB
Ditarik ke Pusat atau Tetap di Daerah? Tulis Komentar & Raih HP-nya

JAKARTA, DDTCNews—Pemerintah dalam waktu dekat ini akan mengubah sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Perubahan itu terkait dengan rencana pemerintah pusat menarik kembali kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan tarif pajak daerah. Namun, perubahan tersebut ditempuh melalui RUU omnibus law perpajakan, bukan dengan perubahan UU PDRD dan UU Pemerintahan Daerah.

Istilah pemerintah, RUU omnibus law itu akan merasionalisasi pajak daerah dan retribusi daerah. Rasionalisasi ini adalah materi terbaru RUU omnibus law perpajakan per November 2019. Dalam draf pertama per September 2019, materi tersebut belum ada.

Baca Juga:
Detail Perubahan 3 UU Pajak dalam UU Cipta Kerja, Download di Sini

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan rasionalisasi itu bisa dilakukan dalam bentuk penyederhanaan atau penghapusan pajak daerah atau retribusi daerah. Untuk itu, pemerintah pusat akan berkonsultasi dengan pemda dan pelaku usaha dalam mengelola kewenangan pemajakan itu.

“Rasionalisasi pajak daerah tujuannya mengatur kembali kewenangan pemerintah pusat untuk menetapkan tarif pajak daerah secara nasional, maka akan ditegaskan dalam RUU ini, dan ditegaskan peraturannya melalui peraturan presiden,” ujarnya, Jumat (22/11/2019)

Memang, sampai hari ini kita belum tahu apa saja jenis pajak daerah atau retribusi daerah yang kewenangan penetapan tarifnya akan ditarik kembali oleh pemerintah pusat. Menkeu Sri Mulyani masih menutup rapat informasi mengenai hal ini.

Baca Juga:
Simak, Ternyata Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Sasar 4 Tujuan Ini

Apakah pemerintah pusat akan menarik kewenangan daerah menetapkan tarif pajak provinsi seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, air permukaan, atau rokok, sejauh ini belum diungkapkan.

Atau pajak kabupaten/kota seperti pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, mineral bukan logam dan batuan, parkir, air tanah, sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBBP2), atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), juga belum jelas.

Namun, Menkeu memastikan penarikan kewenangan daerah dalam menetapkan pajak dan retribusi ke pemerintah pusat itu ditujukan untuk menciptakan lingkungan usaha dan penciptaan kesempatan kerja serta investasi yang lebih baik di daerah. Dengan demikian, investasi ke daerah akan meningkat.

Baca Juga:
Penjelasan Dirjen Pajak Soal Konsinyasi Dianggap Bukan Penyerahan BKP

Pihak yang pro dengan kebijakan ini mengambil contoh kasus Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XI yang dirilis akhir Maret 2016. Dalam paket itu terdapat pemangkasan BPHTB dari 5% menjadi maksimal 1% untuk tanah dan bangunan yang menjadi aset Dana Investasi Real Estate (DIRE).

Kecuali di Provinsi DKI Jakarta, kebijakan rancangan pemerintah pusat ini praktis tidak berjalan karena kewenangan penetapan tarif BPHTB, sesuai dengan UU PDRD dan UU Pemerintah Daerah, dimiliki daerah. Apalagi, saat itu pemerintah pusat juga tidak merevisi UU PDRD dan UU Pemerintah Daerah.

Bagi pihak yang kontra, penarikan kewenangan penetapan tarif pajak daerah oleh pemerintah pusat akan dianggap menarik mundur proses konsolidasi demokrasi ekonomi, yang sudah diawali dengan diadopsinya konsep otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sejak 1999, sebagai koreksi dari praktik sebelumnya.

Baca Juga:
Konsinyasi Dihapus, Tidak Masuk Lagi dalam Pengertian Penyerahan BKP

Kewenangan daerah dalam mengelola dan menetapkan tarif pajak daerah dan retribusi daerah adalah wujud dari konsep otonomi daerah dan desentralisasi fiskal itu. Kewenangan pemerintah pusat via UU PDRD dan UU Pemerintahan Daerah hanya memberikan koridor berupa batasan tarif maksimal.

Melalui UU PDRD itu pula, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan mengelola PBBP2 ke daerah, yang sekaligus membedakannya—termasuk hingga ke proses keberatan dan banding—dengan jenis pajak yang sama, yakni PBB sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan di Ditjen Pajak.

Lalu, apa pendapat Anda? Setuju menarik kembali kewenangan menetapkan tarif pajak daerah ke pemerintah pusat, atau tetap seperti sekarang kewenangan penetapan tarif pajak daerah ada di daerah? Atau Anda punya pandangan lain? Tulis komentar Anda di bawah, siapa tahu Anda yang terpilih meraih hadiah handphone Samsung!



Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

Pilih Ditarik ke Pusat atau Tetap di Daerah lalu tuliskan komentar Anda
Ditarik ke Pusat
Tetap di Daerah
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Ditarik ke Pusat
8
57.14%
Tetap di Daerah
6
42.86%

31 Desember 2019 | 18:00 WIB
Dengan ditariknya kewenangan daerah untuk menetapkan tarif pajak dan retribusi daerah, pemerintah pusat akan lebih mudah untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal di daerah tidak akan ‘mengganggu’ proyek relaksasi pajak nasional yang sedang digodok pemerintah. Seperti yang kita ketahui pemerintah sedang berupaya menarik investor melalui beberapa paket kebijakan yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan usaha dan iklim investasi yang lebih baik di daerah. Bagi daerah, pendapatan dari sektor pajak dan retribusi daerah dalam jangka pendek mungkin akan berkurang. Namun, dengan bertambahnya investor yang masuk, pembangunan di daerah akan berkembang pesat dan perekonomian masyarakat akan meningkat sehingga basis pajak akan naik. Selain itu, penetapan tarif secara nasional oleh pemerintah pusat juga akan menciptakan kepastian hukum dan kesederhanaan pajak bagi investor sehingga biaya kepatuhan pajak akan jauh berkurang. #MariBicara

31 Desember 2019 | 17:13 WIB
Kebijakan penarikan pajak daerah dan retribusi daerah ke pusat tentu akan membawa dampak positif dan negatif. Kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan negara yang berorientasi pada peningkatan investasi. Penentuan tarif pajak daerah secara nasional juga akan menghilangkan kesenjangan perbedaan tarif pajak masing-masing daerah. Hal ini akan meringankan beban masyarakat sehingga daya beli masyarakat meningkat dan menaikkan PDB Indonesia. Kebijakan ini juga akan mengurangi korupsi pajak pada tingkat daerah. Namun, kebijakan ini diperlukan lembaga khusus untuk memonitoring agar berjalan sesuai dengan rencana yang ditentukan. Dampak negatif bagi pemerintah daerah adalah menurunnya PAD, karena pajak daerah dan retribusi daerah pada 2018 menyumbang proporsi 57% dari total PAD. Sehingga diperlukan pertimbangan lebih lanjut antara pemerintah pusat dengan daerah untuk menentukan kebijakan yang mampu melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat selaku stakeholder utama reformasi pajak. #MariBicara

30 Desember 2019 | 21:24 WIB
#MariBicara Dalam benak saya alangkah baiknya jikalau tarif pajak daerah tetap menjadi kewenangan daerah. Mengingat situasi dan kondisi di setiap daerah di Indonesia tidak sama rata. Misalnya, Indonesia di bagian timur seperti Papua tentu memiliki banyak kekayaan alamnya seperti tambang, akan tetapi kurang dalam hal bangunan dan fasilitas umum. Kita beralih melihat di kota Solo, kota dengan penuh kedamain. Di sana hotel-hotel berdiri megah banyak dan tidak lupa berbagai tempat perbelanjaan. Melihat perbedaan di daerah yang berbeda ini tentu dalam membuat kebijakan penganaan tarif pajak daerah akan lebih baik dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah idealnya paham betul apa yang dimiliki oleh daerah dan kebutuhan apa yang harus penuhi. Sehingga jika tarif pajak daerah setiap daerah berbeda itu bukanlah hal yang salah. Akan tetapi memang sesuai kebutuhan daerah itu. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk bisa bertanggung jawab kepada daerahnya sendiri.

29 Desember 2019 | 21:33 WIB
Saya setuju tarif PDRD diatur oleh Pemerintah Pusat, karena pemerintah jilid II lebih menekankan peningkatan investasi dengan dibentuknya di kementerian, Pajak merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam aktivitas investasi selain faktor lainnya seperti tingkat pengembalian investasi, stabilitas politik, upah buruh, akses ke pasar internasional. meskipun pajak bukan merupakan faktor utama tetapi begitu keputusan untuk berinvestasi dibuat, pajak menjadi faktor penting yang dipertimbangkan oleh investor. Jadi apabila telah ditetapkan sama tarif setiap daerah oleh Pemerintah Pusat maka investor tinggal memperhatikan factor lain menentukan daerah investasinya ,disamping itu hak untuk pemajakan bakal tetap diserahkan ke Pemda yang bersangkutan jadi akan tetap menjadi PAD daerah dan desentralisasi tetap berjalan. Sehingga justru mempermudah Pemda konsen dalam meningkatkan pemungutan dan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak tanpa perlu membuat kebijakan tarif baru secara berkala.

24 Desember 2019 | 07:43 WIB
Penetapan tarif pajak daerah yg direncanakan akan dikembalikan ke pemerintah pusat merupakan langkah baik untuk menstimulus PAD dalam jangka panjang. Selama ini daerah memperoleh sokongan transfer dri pemerintah pusat lbh besar daripada hasil pendapatan asli daerah sendiri. Oleh sebab itu, kebijakan ini menjadi polemik karena akan ada opportunity cost, yakni PAD mungkin akan menurun dalam jangka pendek. Namun, langkah ini masih dinilai cukup baik dalam jangka panjang. Pertama, iklim usaha akan semakin baik serta merata karena didukung kepastian hukum dan kemudahan investasi di daerah. Kedua, daerah dapat berdikari membiayai pengeluarannya karena tax bases menjadi lebih besar. Intervensi pemerintah pusat dlm menentukan tarif tidak serta merta menghilangkan konsep otonomi daerah& desentrasi fiskal di daerah. Hal ini justru akan membuat garis tegas kembali antara pemerintah pusat& pemerintah daerah agar dpt menjalankan kewenangannya secara optimal, efektif dan efisien nantinya.#MariBicara

23 Desember 2019 | 23:42 WIB
Saya setuju jika kewenangan penetapan tarif pajak daerah ditarik kembali ke pusat. Alasannya adalah jika kewenangan penetapan tarif pajak daerah tetap di daerah, muncul kemungkinan terjadinya mispersepsi atau kesalahan pemerintah daerah dalam menafsirkan tujuan pemerintah yaitu meningkatkan investasi ke daerah. Yang dimaksud dengan mispersepsi adalah perbedaan tarif yang ditetapkan pemerintah daerah dengan yang diinginkan pemerintah pusat sehingga realisasi tujuan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah menjadi kurang optimal. Alasan lainnya adalah ketersediaan SDM di daerah yang mampu menyusun kebijakan tarif dengan tepat sangatlah minim jika dibandingkan dengan pemerintah pusat. Terkait dengan anggapan melemahnya konsep otonomi daerah akibat hal ini, menurut saya itu salah. Hal ini karena yang ditarik ke pusat hanya kewenangan penetapan tarif pajak daerah saja, sedangkan kewenangan terkait sistem pemungutan, proses keberatan dan banding, dsb tetap menjadi wewenang pemda. #MariBicara

20 Desember 2019 | 21:44 WIB
Menurut pandangan saya sebagai mahasiswa perpajakan, yang terhitung masih awam, kebijakan pemerintah melalui RUU Omnimbus Law yang salah satunya mengembalikan pajak daerah menjadi pajak pusat yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat masih belum siap untuk diterapkan, dikarenakan beberapa hal 1.) Otonomi Daerah menurut UU no 32 Tahun 2004 yang ditetapkan tidak boleh dilupakan bahwa pemerintah daerah bisa melakukan pengelolaan keuangan daerahnya sendiri termasuk pajak daerah yang sudah cukup berjalan dengan baik 2.) Mindset rakyat Indonesia kebanyakan yaitu lebih semangat dalam membayar pajak daerah dikarenakan manfaatnya dirasakan langsung terasa. 3.) Pajak Daerah yang ditetapkan tarifnya oleh masing" daerah telah sesuai dengan kondisi yang ada pada daerah masing", & sudah cukup berperan dalam keuangan daerah masing" maka dari itu saya berpendapat bahwa bukan pengalihan yang dibutuhkan, namun OPTIMALISASI PAJAK DAERAH agar keuangan daerah semakin Mandiri & merata #MariBicara

20 Desember 2019 | 20:54 WIB
Menurut pandangan saya sebagai mahasiswa perpajakan, yang terhitung masih awam, kebijakan pemerintah melalui RUU Omnimbus Law yang salah satunya mengembalikan pajak daerah menjadi pajak pusat yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat masih belum siap untuk diterapkan, dikarenakan beberapa hal 1.) Otonomi Daerah menurut UU no 32 Tahun 2004 yang ditetapkan tidak boleh dilupakan bahwa pemerintah daerah bisa melakukan pengelolaan keuangan daerahnya sendiri termasuk pajak daerah yang sudah cukup berjalan dengan baik 2.) Mindset rakyat Indonesia kebanyakan yaitu lebih semangat dalam membayar pajak daerah dikarenakan manfaatnya dirasakan langsung terasa. 3.) Pajak Daerah yang ditetapkan tarifnya oleh masing" daerah telah sesuai dengan kondisi yang ada pada daerah masing", & sudah cukup berperan dalam keuangan daerah masing" maka dari itu saya berpendapat bahwa bukan pengalihan yang dibutuhkan, namun OPTIMALISASI PAJAK DAERAH agar keuangan daerah semakin Mandiri & merata lagi #MariMembaca

20 Desember 2019 | 18:58 WIB
Pada dasarnya, omnibus law merupakan bagian dari konsep omnibus bill yang dianut oleh beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat. Konsep ini dinilai mampu menyederhanakan & menyelesaikan adanya tumpang tinding peraturan di suatu negara. Kementerian Keuangan saat ini berupaya untuk menarik kembali PDRD ke Pajak Pusat, dalam konteks ini berupa penetapan tarif pajak. Langkah ini cukup kontrovesional namun memiliki potensi adanya penggalian pajak di Indonesia. Pertama, hal ini mampu mendukung iklim investasi dengan menyediakan kepastian hukum perpajakan bagi investor. Dengan adanya peningkatan kepastian hukum ini, kepercayaan investor akan semakin tinggi untuk berinvestasi di Indonesia. Kedua, sesuai dengan pertemuan IMF-WB di Bali pada th 2018 yg lalu, Pajak Daerah merupakan salah satu instrumen untuk mendukung penerapan pajak hijau (green taxes). Diharapkan upaya ini mampu mendorong penggalian pajak hijau yg tinggi untuk menciptakan ekonomi hijau yg ideal di Indonesia.#MariBicara

20 Desember 2019 | 17:20 WIB
penarikan kewenangan penetapan tarif pajak daerah ke pusat adalah pilihan yang sangat briliant karena memiliki beberapa keuntungan, diantaranya: pertama, penerapan Single Tax Rate diseluruh daerah memberikan kepastian hukum bagi para investor, dimana selama ini investor mengeluhkan perbedaan tarif pajak di tiap daerah sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskan untuk investasi. Kedua, dengan adanya tarif yang sama yang ditentukan dari pusat akan meminimalkan pemerintah daerah dalam rangka mencari keuntungan pribadi dari investor yang berakibat kurangnya ketidakpercayaan investor untuk investasi di daerah. yang ketiga yaitu memudahkan pemerintah untuk memetakan performance pajak daerah dan juga dalam membuat kebijakan. sementara itu, Pemerintah daerah tidak perlu risau dengan mempermasalahkan hak otonomi daerah, karena pada dasarnya pemerintah pusat hanya menetapkan tarif pajak daerah, sedangkan untuk pemungutan pajak daerah tentu saja menjadi hak dari pemda😊. #MariBicara
ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 13 Oktober 2020 | 13:33 WIB UU CIPTA KERJA

Detail Perubahan 3 UU Pajak dalam UU Cipta Kerja, Download di Sini

Senin, 12 Oktober 2020 | 12:48 WIB UU CIPTA KERJA

Simak, Ternyata Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Sasar 4 Tujuan Ini

Senin, 12 Oktober 2020 | 11:51 WIB UU CIPTA KERJA

Penjelasan Dirjen Pajak Soal Konsinyasi Dianggap Bukan Penyerahan BKP

Minggu, 11 Oktober 2020 | 07:00 WIB UU CIPTA KERJA

Konsinyasi Dihapus, Tidak Masuk Lagi dalam Pengertian Penyerahan BKP

BERITA PILIHAN
Jumat, 29 Maret 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Beli Rumah Sangat Mewah di KEK Pariwisata Bebas PPh, Perlu SKB?

Jumat, 29 Maret 2024 | 14:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pengajuan Perubahan Kode KLU Wajib Pajak Bisa Online, Begini Caranya

Jumat, 29 Maret 2024 | 13:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu Pajak Air Tanah dalam UU HKPD?

Jumat, 29 Maret 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perlakuan PPh atas Imbalan Sehubungan Pencapaian Syarat Tertentu

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:30 WIB PERMENKOP UKM 2/2024

Disusun, Pedoman Soal Jasa Akuntan Publik dan KAP dalam Audit Koperasi

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Pengangkutan Pupuk