PAJAK INTERNASIONAL

Beberapa Update Isu Terkini Pajak Internasional

Jumat, 26 April 2019 | 17:13 WIB
Beberapa Update Isu Terkini Pajak Internasional
Darussalam,
Managing Partner DDTC

Perkembangan pajak internasional menjadi salah satu isu yang paling menarik untuk diikuti. Selain sifatnya yang dinamis, isu ini kian menjadi pusat perhatian terlebih ketika otoritas pajak di berbagai belahan dunia sepakat untuk mengimplementasikan hasil proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang digagas oleh OECD dan negara-negara G20. Berikut dapat dirangkum beberapa update isu pajak internasional yang tengah menjadi perbincangan hangat dalam dunia perpajakan.

  1. Proposal OECD mengenai Pajak Ekonomi Digital

Menurut Herzfeld (2019), salah satu isu pajak internasional yang akan menjadi topik diskusi di sepanjang tahun 2019 adalah isu perpajakan dalam ekonomi digital. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan ekonomi digital telah membawa banyak perubahan pada wajah dunia bisnis sekaligus tantangan bagi dunia perpajakan.

Dalam beberapa tahun terakhir, tantangan pajak ekonomi digital telah menjadi objek debat publik (khususnya di Eropa) dan telah menyebabkan diskusi yang intens antara para pembuat kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional (Bacache-Beauvallet dan Bloch, 2017). Tantangan ini terutama disebabkan adanya mismatch antara sistem pajak internasional yang saat ini berlaku dengan model bisnis di era digital.

Merespons tantangan tersebut, the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebagai salah satu organisasi internasional yang fokus dalam mengembangkan konsensus pajak ekonomi digital, pada bulan Februari 2019, merilis sebuah dokumen konsultasi publik yang berjudul “Addressing The Tax Challenges of The Digitalisation of The Economy”.

Dokumen yang disusun dengan melibatkan 127 negara anggota BEPS Inclusive Framework ini merupakan tindak lanjut dari proyek BEPS Rencana Aksi 1 untuk mengatasi berbagai tantangan perpajakan dalam ekonomi digital. Melalui dokumen ini pula, pihak-pihak yang berkepentingan dapat melihat berbagai usulan kebijakan perpajakan ekonomi digital sekaligus memberikan feedback atas kebijakan tersebut (Bunn, 2019).

Opsi kebijakan yang diuraikan dalam dokumen ini dikelompokkan menjadi dua pilar kebijakan terpisah. Pilar pertama mengenai kebijakan pengalokasian laba yang lebih adil dan pilar kedua mengenai kebijakan penerapan instrumen pencegahan penggerusan basis pajak melalui suatu pajak minimum.

Pilar pertama memuat kebijakan untuk mengalokasikan lebih banyak laba atau keuntungan ke negara-negara tempat pasar berada (market countries) tanpa memperhatikan ada tidaknya kehadiran fisik. Terkait hal ini, terdapat tiga nexus rule dan pengalokasian laba yang diusulkan oleh BEPS Inclusive Framework.

Pertama, merealokasikan basis pemajakan berdasarkan kontribusi dan jumlah pengguna (user) atau disebut pendekatan kontribusi pengguna. Pendekatan ini mengikuti argumen yang dibuat oleh pemerintah United Kingdom (UK) bahwa pengguna layanan digital memiliki kontribusi yang signifikan bagi perusahaan digital sehingga hak pemajakan seharusnya dialokasikan kepada negara tempat pengguna berada. Model bisnis spesifik yang ditargetkan untuk menggunakan pendekatan ini adalah platform media sosial, mesin pencari, dan pasar online.

Kedua, merealokasikan basis pemajakan berdasarkan skema marketing intangible. Pendekatan ini mengikuti pendekatan yang diterapkan oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat. Teori dibalik pendekatan ini adalah bahwa semua marketing intangible, seperti merek, daftar pelanggan, dan customer relationship, baru memiliki nilai ketika ada pasar yang tersedia. Dengan kata lain, tanpa adanya pasar,marketing intangible yang dimiliki suatu kegiatan usaha tidak akan mungkin memiliki nilai yang signifikan. Oleh karena itu, opsi ini mengusulkan untuk mengalokasikan penghasilan perusahaan multinasional ke negara-negara tempat pasar berada berdasarkan nilai yang dihasilkan pasar tersebut dari penggunaanmarketing intangible. Adapun opsi ini dinilai lebih cocok diberlakukan bagi raksasa digital yang memiliki perusahaan lokal yang berlaku sebagai limited risk distributor (LRD).

Ketiga, merealokasikan basis pemajakan berdasarkan konsep kehadiran ekonomi secara signifikan atau significant economic presence. Dengan kata lain, pendekatan ini dibuat dengan menciptakan suatua nexus baru berdasarkan konsep kehadiran ekonomi secara signifikan yang tidak mempersyaratkan kehadiran fisik. Kemudian, hak pemajakan akan dialokasikan kepada negara di mana significant economic presence tersebut berada.

Menurut dokumen konsultasi OECD, subjek pajak luar negeri memiliki kehadiran ekonomi secara signifikan di suatu negara apabila ia memiliki interaksi melalui teknologi digital di negara terkait, seperti:

  1. basis pengguna dan input data;
  2. volume konten digital;
  3. penagihan dan pengumpulan dalam mata uang lokal atau dengan bentuk pembayaran lokal;
  4. pemeliharaan situs web dalam bahasa lokal;
  5. tanggung jawab untuk pengiriman barang akhir kepada pelanggan atau penyediaan pelayanan pendukung lainnya, seperti layanan purna jual atau perbaikan dan pemeliharaan;
  6. kegiatan pemasaran dan promosi penjualan yang berkelanjutan, baik online atau sebaliknya, untuk menarik pelanggan.

Pilar kedua berisi proposal kebijakan yang disebut dengan global anti-base erosion proposal, yaitu sebuah proposal yang menetapkan besarnya tarif pajak efektif minimum atas laba yang diperoleh perusahaan multinasional. Dalam konteks ini, dokumen konsultasi OECD menjelaskan dua aturan, yaitu mengenai income inclusion rule dan tax on base-eroding payments.

Berdasarkan income inclusion rule, penghasilan dari perusahaan cabang atau perusahaan anak di luar negeri dapat disertakan sebagai basis pengenaan pajak perusahaan induk apabila penghasilan cabang atau perusahaan anak tersebut dikenai pajak di luar negeri dengan tarif yang sangat rendah. Sementara itu, aturan mengenai tax on base-eroding payments merupakan aturan yang tidak memperbolehkan adanya pengurangan atau pemanfaatan fasilitas dalam tax treaty bagi entitas yang dikenai pajak di bawah tarif pajak minimum.

Proposal yang terdapat dalam pilar kedua di atas terinsipirasi dari dua kebijakan pascareformasi pajak Amerika Serikat, yaitu Global Intangible Low Tax Income (GILTI) dan Base Erosion and Anti-Abuse Tax (BEAT).

  1. Belt Road Initiative

“Belt and Road” Initiative (BRI) adalah sebuah kebijakan luar negeri dan inisiatif kerja sama ekonomi, diplomatik, geopolitik multifaset yang dilakukan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 (Yang, 2018). Disebut sebagai kebijakan yang paling ambisius, China menginisiasi dan memimpin BRI dengan tujuan untuk memperkuat kepemimpinan perekonomiannya melalui program perluasan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah negara tetangga China (Cai, 2017). Program ini akan meningkatkan interkonektivitas ekonomi dan memfasilitasi pembangunan di Eurasia, Afrika Timur, dan lebih dari 60 negara mitra.

Menyadari bahwa kerja sama pajak menjadi salah satu unsur penting dalam memfasilitasi perkembangan ekonomi BRI, pada tanggal 18-19 April 2019 di Wuzhen, China, Belt and Road Initiative Tax Administration Cooperation Mechanism (BRITACOM) mengadakan sebuah konferensi yang bertajuk “The First Conference of the Belt and Road Initiative Tax Administration Cooperation Forum” (BRITACOF). Dihadiri oleh kepala dan perwakilan administrasi pajak dari 85 yurisdiksi, 16 organisasi internasional, sejumlah institusi pendidikan dan bisnis, serta lebih dari 350 delegasi dari BRITACOM, konferensi ini berfokus pada bagaimana membangun lingkungan pajak yang ‘ramah’ yang mampu mendorong perkembangan ekonomi sekaligus memastikan mobilisasi penerimaan pajak dalam yurisdiksi yang mendukung implementasi BRI.

Dalam forum tersebut, akhirnya diputuskan beberapa Rencana Aksi yang akan diimplementasikan oleh yuridiksi BRI sejak tahun dimulainya konferensi BRITACOF pertama hingga konferensi BRITACOF ketiga atau selama kurun waktu dua tahun. Dengan mengambil tema “Building a Growth-Friendly Tax Environment”, berikut adalah Rencana Aksi tersebut.

  1. Mengikuti aturan hukum dalam perpajakan serta meningkatkan kepastian pajak. Misalnya, dengan melakukan penelitian tentang kepastian pajak untuk mengidentifikasi masalah, mencari solusi, meningkatkan prediktabilitas dan konsistensi penerapan undang-undang perpajakan dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dalam praktik administrasi perpajakan, serta memberikan program pelatihan kepada wajib pajak ketika terdapat undang-undang pajak yang baru berlaku. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa wajib pajak terbiasa dengan lingkungan pajak yang baru.
  2. Mempercepat penyelesaian sengketa pajak. Misalnya, dengan memberikan akses penyelesaian sengketa yang baik kepada wajib pajak, mulai dari upaya administrasi, upaya hukum, hingga pelaksanaan Mutual Agreement Procedure (MAP) sebagaimana tercantum dalam P3B. Cara lainnya adalah melakukan survei untuk lebih memahami sengketa pajak lintas batas yang terjadi di yurisdiksi BRI.
  3. Meningkatkan kapasitas administrasi pajak. Untuk meningkatkan kapasitas administrasi pajak dalam menangani masalah pajak internasional rumit yang muncul di yurisdiksi BRI, para negara anggota BRI telah membuat jaringan lembaga pelatihan yang tersebar di seluruh wilayah BRI yang disebut dengan Akademi Pajak BRI (selanjutnya disebut sebagai "BRITA") di Kazakhstan, Makau, dan daratan China. Upaya meningkatkan kapasitas administrasi pajak juga dapat dilakukan dengan melakukan survei untuk mengidentifikasi dan menyusun rencana jangka pendek dan jangka panjang pengembangan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan administrasi pajak di yurisdiksi BRI. Cara lainnya adalah dengan mengadakan seminar, workshop, dan bentuk kegiatan diskusi serta pembelajaran lainnya sebagai sarana berbagi pandangan dan pertukaran ide dalam upaya mencari solusi untuk masalah umum perpajakan yang terjadi di yurisdiksi BRI.
  4. “Merampingkan” kepatuhan pajak. Misalnya, dengan mengevaluasi kembali persyaratan dokumentasi dengan tujuan untuk mengurangi pelaporan informasi dan persyaratan dokumentasi yang tidak perlu. Cara lainnya adalah dengan membantu wajib pajak memahami hak dan kewajiban mereka serta memberikan perlindungan terhadap kerahasiaan informasi wajib pajak. Pembagian informasi dengan pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila diizinkan secara hukum.
  5. Menerapkan Digitalisasi administrasi pajak. Misalnya, dengan merancang dan meningkatkan penggunaan sarana digital untuk berdialog dengan wajib pajak, melaksanakan proyek percontohan digitalisasi administrasi pajak, serta meningkatkan sistem informasi dengan memberikan pelatihan kepada staf administrasi perpajakan.
  6. Kerangka implementasi yang menjadi evaluasi akhir apakah kelima Rencana Aksi di atas dapat dilaksanakan secara efektif dengan mempertimbangkan perspektif semua yurisdiksi BRI dan manfaat bagi para pemangku kepentingan.
  1. Multilateral Instrument (MLI)

Herzfeld (2019) juga menjelaskan bahwa isu mengenai penerapan Rencana Aksi BEPS juga menjadi isu penting yang kerap akan dibahas di tahun 2019. Salah satunya Rencana Aksi BEPS 15 mengenaiMultilateral Instrument (MLI).

Keputusan untuk mengimplementasikan Rencana Aksi dari proyek BEPS dalam mengatasi penghindaran pajak menyebabkan diperlukannya serangkaian reformasi besar terhadap perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang selama ini berlaku. Tercatat, sampai saat ini, terdapat kurang lebih 3.000 tax treatyatau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang berlaku di dunia. Fakta ini menunjukkan bahwa pembaruan P3B dalam konteks penerapan hasil proyek BEPS melalui renegosiasi menjadi tugas yang tidak mungkin dilakukan (Kleist, 2018).

Mencermati persoalan tersebut, OECD dan G20 melalui Rencana Aksi BEPS 15 mengembangkan suatu mekanisme yang disebut Multilateral Instrument (MLI). Mekanisme ini dianggap sebagai mekanisme inovatif yang memungkinkan ribuan P3B diperbarui secara serentak tanpa melalui proses negosiasi bilateral (Oguttu, 2018). Dengan kata lain, MLI merupakan cara tercepat untuk memodifikasi P3B.

Suatu negara bebas untuk memilih P3B dengan negara mitra mana saja yang akan dimodifikasi melalui MLI. P3B yang akan dimodifikasi melalui MLI disebut Covered Tax Agreement (CTA). Oleh karena itu, apabila hanya terdapat satu negara saja dalam P3B yang memasukkan P3B tersebut ke dalam daftar CTA, sementara negara mitranya tidak, modifikasi P3B itu tidak dapat dilakukan melalui mekanisme MLI. Modifikasi P3B dalam kasus ini harus dilakukan melalui mekanisme negosiasi bilateral sebagaimana lazimnya.

Sebagai contoh, dari 94 P3B yang dimiliki, Belanda memasukkan 81 P3B ke dalam daftar CTA. Namun, dari 81 P3B tersebut, ‘hanya’ 53 negara mitra P3B yang juga memasukkan P3B dengan Belanda ke dalam daftar CTA. Dengan demikian, hanya 53 P3B tersebut yang dapat dimodifikasi melalui MLI.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan MLI hanya akan diterapkan terhadap:

  1. P3B yang disetujui antara dua pihak yang berpartisipasi dalam MLI;
  2. P3B yang dimasukkan secara ekplisit sebagai P3B yang akan diubah atau disebut Covered Tax Agreement (CTA);
  3. ketentuan P3B yang dipilih oleh dua negara untuk diubah melalui MLI.

MLI tidak mengamandemen isi dari P3B layaknya protokol P3B. Namun, P3B dan MLI akan dibaca dan diimplementasikan secara beriringan. Dengan kata lain, hasil dari MLI akan menjadi tambahan (suplemen) atas P3B yang telah ada.

Saat ini, terdapat 87 negara yang telah menandatangani MLI. Beberapa negara, seperti Algeria, Eswatini, Kenya, Lebanon, Oman, dan Thailand, telah menyatakan niatnya untuk bergabung menandatangani instrumen ini.

Kemudian, berdasarkan data OECD per 9 April 2019, dari 84 negara yang telah tanda tangan, 25 negara diantaranya telah meratifikasi MLI. Dengan adanya ratifikasi ini, diperkirakan sebanyak 1500 P3B telah dimodifikasi melalui MLI dan diharapkan lebih dari 500 P3B menyusul untuk dimodifikasi. Daftar nama negara yang telah meratifikasi serta telah (akan) memberlakukan modifikasi P3B melalui MLI dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Daftar Negara yang Telah Meratifikasi serta Telah (Akan) Memberlakukan Modifikasi P3B melalui MLI per 9 April 2019


Sumber: OECD, “Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent BEPS,” Internet, dapat diakses melalui https://www.oecd.org/tax/treaties/multilateral-convention-to-implement-tax-treaty-related-measures-to-prevent-beps.htm

Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani MLI pada tanggal 7 Juni 2017 di Prancis. Berdasarkan Laporan Peer Review OECD 2019 yang berjudul Prevention of Treaty Abuse - Peer Review Report on Treaty Shopping, dari 69 P3B yang dimiliki, Indonesia memasukkan 47 P3B dalam daftar CTA kepada Sekertariat OECD tanggal 30 Juni 2018 (OECD, 2019).

Sebanyak 25 negara mitra P3B juga memasukkan P3B dengan Indonesia ke dalam daftar CTA mereka (Afrika Selatan, Australia, Belanda, Belgia, China, Finlandia, Hong Kong, India, Italia, Jepang, Kanada, Korea, Kroasia, Luksemburg, Malaysia, Prancis, Qatar, Polandia, Selandia Baru, Seychelles, Singapura, Slovakia, UEA, UK, dan Turki). Selanjutnya, 2 negara mitra P3B, yaitu Norwegia dan Swiss tidak memasukkan Indonesia ke dalam daftar CTA.

Saat ini, Indonesia telah mengadopsi empat ketentuan yang bersifat mandatory atau wajib diadopsi oleh negara-negara penandatangan MLI (BEPS Rencana Aksi 5, 6, 13, dan 14). BEPS Rencana Aksi lainnya yang sudah diterapkan di Indonesia, antara lain Rencana Aksi 3 dan 4. Selain itu, untuk dapat mengimplementasikan BEPS Rencana Aksi 15 secara menyeluruh, Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan reformasi kebijakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan yang telah dimulai pada April 2017 dan diharapkan ini dapat selesai pada tahun 2024. Semoga.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik :

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN