ANALISIS PAJAK

Menimbang Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Senin, 24 Mei 2021 | 15:15 WIB
Menimbang Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

B. Bawono Kristiaji,  
Partner of Tax Research & Training Service DDTC

MINGGU lalu, pemerintah menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022 dalam rapat paripurna DPR. Pajak karbon menjadi salah satu usulan dan menjadi bagian dari reformasi perpajakan.

Saat ini, upaya untuk mengurangi emisi karbon telah menjadi salah satu isu lingkungan yang terus disoroti secara global. Banyak negara yang memilih pengenaan pajak karbon atau sering juga disebut carbon tax, energy tax, atau CO2 tax.

Pertanyaannya, apakah tepat apabila pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pajak karbon ini? Bagaimana desain kebijakannya yang ideal?

Justifikasi Penerapan Pajak Karbon
SECARA konsep, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada bahan bakar fosil. Pajak ini dikenakan dengan tujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya (IBFD International Tax Glossary, 2015).

Ian Parry (2019) juga mendefinisikan pajak karbon sebagai pungutan atas kandungan karbon pada bahan bakar fosil. Dengan kata lain, pajak karbon merupakan suatu pungutan pajak yang dikenakan bagi produsen bahan bakar fosil berdasarkan pada kandungan karbon dari bahan bakar tersebut.

Setidaknya terdapat beberapa justifikasi mengapa pajak karbon berpeluang diterapkan di Indonesia. Pertama, pajak karbon dapat menjadi instrumen untuk menjaga lingkungan sekaligus berorientasi pada penerimaan.

OECD dalam publikasinya berjudul Taxing Energy Use for Sustainables Development (2021) menyarankan pengenaan pajak karbon sebagai solusi mitigasi iklim sekaligus sumber penerimaan baru pascapandemi Covid-19.

Kedua, pajak karbon adalah salah satu wujud dari pigouvian tax yang berupaya mengoreksi aktivitas ekonomi dengan eksternalitas negatif. Skema internalisasi biaya eksternalitas negatif diterapkan dengan adanya pajak yang harus ditanggung pelaku yang menghasilkan emisi karbon. Sifatnya yang mengurangi eksternalitas negatif tersebut selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Ketiga, relevan dengan kondisi Indonesia. Saat ini Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia (BP Statistical Review of World Energy, 2019). China menduduki posisi tertinggi dengan angka 29%, disusul Amerika Serikat 15%, India 7%, Rusia 4%, Jepang 3%, dan Indonesia 2%. Bahkan, Indonesia masuk 5 negara penghasil emisi karbon terbesar di Kawasan Asia Pasifik.

Keempat, pengenaan pajak karbon sesungguhnya pro terhadap kesejahteraan masyarakat miskin. Menurut UN World Social Report 2020, perubahan iklim akan memberikan kerentanan dan dampak negatif yang lebih besar bagi kelompok miskin.

Kelima, penerapan pajak karbon selaras dengan tren internasional. Menurut data World Bank (2020), pajak karbon setidaknya telah diterapkan di 25 negara di seluruh dunia, termasuk berbagai negara di Uni Eropa, Kanada, Singapura, Jepang, Ukraina, dan Argentina.

Penerapan pajak ini juga telah berhasil mengurangi emisi karbon. Sebagai contoh, Swedia telah berhasil menurunkan tingkat emisi karbonnya sebesar 25% sejak 1995. Oleh sebab itu, Indonesia dapat mencontoh negara-negara yang berhasil dalam menerapkan pajak karbon.

Selain justifikasi tersebut, perlu dipahami pula kelebihan maupun kekurangan dari pajak karbon. Adapun kelebihan diterapkannya pajak karbon antara lain, pertama, pajak karbon dapat diberlakukan secara luas untuk semua jenis bahan bakar fosil sehingga mencakup semua sumber emisi utama.

Kedua, pajak karbon dapat diterapkan dengan tarif yang jelas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan informasi harga karbon yang jelas, konsumen dan sektor bisnis cenderung lebih terdorong untuk melakukan tindakan hemat energi dan berinvestasi lebih banyak pada teknologi hemat energi (Matsukawa, 2004).

Ketiga, kesederhanaan administrasi. Mekanisme pemungutan pajak karbon dapat dibuat sama dengan mekanisme pemungutan pajak yang telah ada, sehingga dapat meminimalkan kesulitan administrasi pada saat penerapannya (Åkerfeldt, 2017).

Sementara itu, terdapat beberapa kelemahan dari penerapan pajak karbon (Heyman, 2019). Pertama meskipun pajak karbon menetapkan harga emisi karbon, pajak ini umumnya tidak menetapkan suatu batasan tertinggi emisi yang bisa dihasilkan. Dengan demikian, selama pihak pencemar bersedia membayar, emisi dapat terus meningkat.

Kedua, tantangan politik. Masih terdapat kesulitan dalam mengenalkan pajak karbon kepada masyarakat, mengingat pajak karbon memiliki dampak terhadap isu sosial dan kompetisi ekonomi.

Desain Kebijakan
OECD (2001) dalam Enviromental Taxation a Guide for Policy Makers memberikan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan para pengambil keputusan dalam mendesain perpajakan lingkungan, termasuk pajak karbon.

Pertama, dasar pengenaan pajak lingkungan harus ditujukan kepada polutan atau perilaku polusi (polluter pays principle). Kedua, ruang lingkup pajak lingkungan idealnya harus selaras dengan skala lingkup kerusakan lingkungan. Ketiga, tarif pajak harus sepadan dengan kerusakan lingkungan.

Keempat, sistemnya harus berkepastian dan dapat diprediksi sehingga memotivasi perbaikan lingkungan. Kelima, penerimaan dari pajak lingkungan dapat membantu konsolidasi fiskal atau membantu mengurangi ketergantungan dari pos pajak lainnya. Keenam, distributional impact tentang kesejahteraan dan beban fiskal harus dapat diatasi oleh instrumen kebijakan yang lain.

Selain itu, menurut Sumner, et al. (2009), dalam membuat desain pajak karbon terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, di antaranya adalah dasar pajak, tarif pajak, distribusi pendapatan, dampak pada konsumen, dan upaya memastikan penurunan emisi.

Pada dasarnya, dalam mendesain kebijakan pajak karbon, pemerintah Indonesia tidak perlu tergesa-gesa, terutama terkait dengan penentuan besaran tarif. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memetakan terlebih dahulu sektor atau aktivitas yang menimbulkan polusi secara tepat sehingga kebijakan ini dapat tepat sasaran. Umumnya, penerapan pajak karbon diterapkan pada bahan bakar fosil, sektor dengan emisi karbon besar, dan sebagainya.

Berikutnya, menentukan skema pemungutan. Apakah pajak karbon ini nantinya mengacu pada pungutan yang sudah ada, seperti cukai, PPh, dan PPN, atau justru pungutan pajak yang benar-benar baru. Negara-negara lain pada umumnya menggunakan instrumen cukai dan pajak bahan bakar (fuel tax).

Selanjutnya, menentukan basis pajak karbon (dasar pengenaan pajak), apakah merujuk pada emisi karbon, konsumsi bahan bakar, atau lainnya. Terakhir, baru menentukan besaran tarif yang tepat dan efektif.

Untuk menjamin penerapannya, perlu dipertimbangkan adanya dukungan dalam bentuk kemudahan administrasi, kejelasan peraturan, dan sosialisasi yang efektif. Selain itu, nantinya pemerintah juga dapat memberikan reward bagi industri ketika berhasil menciptakan efisiensi terhadap penggunaan bahan bakar fosil.

Satu hal yang pasti, rencana penerapan pajak karbon merupakan suatu langkah kebijakan yang perlu didukung. Dari sisi yang lebih luas, pajak karbon dapat menjadi pendorong Indonesia untuk tidak bergantung pada bahan bakar fosil dan kemudian dapat menggantinya dengan bahan bakar yang terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Selain itu, hasil penerimaan pajak dari pajak karbon juga dapat dialokasikan kembali untuk pembiayaan kesehatan masyarakat dan perbaikan lingkungan.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 23 April 2024 | 07:00 WIB LITERATUR PAJAK

Perpajakan DDTC Tawarkan Literatur Pajak Berbahasa Inggris ​

Jumat, 19 April 2024 | 07:30 WIB LITERATUR PAJAK

Sambut Hari Kartini, DDTC Hadirkan Diskon untuk Perempuan Indonesia

Selasa, 09 April 2024 | 10:00 WIB MALAYSIA

Rencana Pengenaan PPnBM di Malaysia Ditangguhkan Sementara

BERITA PILIHAN