ANALISIS PAJAK

Minim Sengketa, Meningkatkan Kepatuhan?

Rabu, 09 Oktober 2019 | 14:58 WIB
Minim Sengketa, Meningkatkan Kepatuhan?

Veronica A.A. Laras Gupita,
DDTC Consulting

BERBICARA mengenai penerimaan negara tentu tidak terlepas dari penerimaan pajak yang memiliki proporsi terbesar di dalamnya. Penerimaan pajak APBN 2018 dirancang Rp1.618 triliun, sedangkan realisasinya hanya Rp1.315,9 triliun. Artinya, penerimaan pajak APBN 2018 tidak mencapai target.

Penerimaan pajak yang tidak mencapai target agaknya menjadi masalah dari tahun ke tahun. Sebab realisasi penerimaan pajak di APBN 2017 pun penerimaan pajak juga tidak mencapai target, yakni hanya 89,4% dari target APBNP sebesar Rp1.147,5 triliun.

Kurang optimalnya penerimaan pajak ini salah satu indikator persoalan dalam sistem perpajakan di Indonesia belum diatasi dengan tepat (Darussalam, et al, 2019). Adanya informasi asimetri dan belum terbentuknya masyarakat melek pajak menyebabkan timbulnya sengketa pajak.

Sengketa Pajak
WALAU merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam sistem pajak, sengketa pajak memberikan dampak negatif kepada kepatuhan (Darussalam, 2017). Sebagai contoh, salah satu hak dasar wajib pajak adalah mengajukan keberatan dan banding.

Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan hak tersebut justru dibebani sanksi kenaikan jika keberatan atau banding ditolak. Berkaca dari ketentuan tersebut, hak wajib pajak untuk mengajukan upaya hukum seolah-olah dibatasi.

Kemudian, juga ‘dibumbui’ dengan rasa takut atas sanksi administrasi yang besar. Sengketa pajak akhirnya membawa dampak negatif karena memberikan ketidakpastian yang dapat menggerus kepercayaan wajib pajak terhadap sistem pajak itu sendiri.

Di sisi lain, perubahan sistem pajak dari official assessment menjadi self assessment bertujuan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya. Semangat perubahan itu didukung dengan konsep kepatuhan kooperatif.

Dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), kepatuhan kooperatif didefinisikan sebagai hubungan yang didasari oleh kerja sama dan asas saling percaya antara otoritas dan wajib pajak (Darussalam, et al, 2019).

Kepatuhan kooperatif selaras dengan perubahan sistem pajak karena atas kepercayaan itu diharapkan kepatuhan wajib pajak meningkat. Namun, realitasnya, kepercayaan tersebut tidak dibarengi dengan implementasi yang baik sehingga menyisakan celah besar antara otoritas pajak dan wajib pajak.

Oleh karena itu, konsep kepatuhan kooperatif memiliki tujuan agar dapat mewujudkan hubungan yang didasari dengan adanya sikap transparan, saling terbuka, dan mendengar atau partisipatif antara wajib pajak dan otoritas pajak.

Selain itu, konsep kepatuhan kooperatif diharapkan dapat mempersempit celah antara wajib pajak dan otoritas pajak sehingga dapat tercapai keadilan dan kepastian hukum yang mengantarkan pada peningkatan kepatuhan pajak dalam jangka panjang (Darussalam, 2017).

Kepastian Hukum
SEBAGAIMANA disebut sebelumnya, kepatuhan kooperatif pada dasarnya menukarkan transparansi dengan kepastian. Artinya, wajib pajak terbuka pada otoritas pajak dan pada saat yang sama otoritas pajak memberikan kepastian untuk mencegah timbulnya sengketa yang berlarut (DDTCNews, 2019).

Faktanya, sengketa yang berlarut tidak akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak sehingga untuk mengatasinya diperlukan suatu perangkat dan penegakan hukum yang jelas dan sederhana untuk mengurangi ambiguitas dan gesekan antara wajib pajak dengan otoritas pajak.

Dalam penyusunan perangkat hukum ini, unsur yang perlu diperhatikan adalah kepastian hukum (rechtssicherheit) (Effendy, Marwan, 2012). Memberikan jaminan kepastian hukum bertujuan agar apa yang dimaksud penyusun peraturan tersampaikan dan dimengerti dengan baik oleh masyarakat.

Peraturan yang jelas dan sederhana akan meminimalisasi sengketa pajak sebab pada dasarnya dari peraturan yang ‘kabur’ itulah akan timbul sengketa pajak akibat perbedaan persepsi. Bukan suatu hal yang tidak mungkin dari sengketa pajak yang minim akan meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak.

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak, prinsip kepastian hukum harus benar-benar terjamin dalam peraturan dan penegakan hukum. Kepastian hukum ini menjadi tolok ukur apakah hak dan kewajiban wajib pajak terakomodasi atau belum.

Dari hak dan kewajiban wajib pajak yang terakomodasi itulah kemudian kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak akan meningkat sehingga memengaruhi kepatuhan wajib pajak. Dengan demikian, target penerimaan pajak dalam APBN pun bisa dioptimalkan.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 05 April 2024 | 17:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Koreksi Peredaran Usaha dan HPP

Kamis, 04 April 2024 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP: WP yang Ajukan Ultimum Remedium Pasal 44B UU KUP Terus Meningkat

Kamis, 04 April 2024 | 10:04 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Pastikan PSIAP Tepat Waktu, Komwasjak Kunjungi Ditjen Pajak

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Koreksi DPP PPN atas Jasa Pengangkutan Pupuk

BERITA PILIHAN